Berita Nasional Politik

PERADI Usul Pasal Penyadapan Dihapus dari KUHP Baru

  • June 18, 2025
  • 2 min read
PERADI Usul Pasal Penyadapan Dihapus dari KUHP Baru

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyampaikan usulan agar ketentuan penyadapan dihapus dari Rancangan Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Hal ini diutarakan Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, saat menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Menurut Sapriyanto, kewenangan penyadapan sebagai bentuk upaya paksa berpotensi disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Karenanya, ia mengusulkan agar penyadapan dihapus dari daftar upaya paksa dalam RKUHAP demi menjaga akuntabilitas dan perlindungan hak privasi warga negara.

Sapriyanto menegaskan bahwa regulasi terkait penyadapan sejatinya sudah diatur secara cukup dalam sejumlah undang‑undang sektoral, seperti UU Narkotika, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan UU Kepolisian. Dengan begitu, menurutnya, tidak perlu disusun ulang dalam RKUHAP.

Dalam draf RKUHAP yang saat ini disusun, penyidik memang diberikan kewenangan melakukan berbagai bentuk upaya paksa, meliputi penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, pemeriksaan surat, hingga pelarangan tersangka meninggalkan wilayah negeri (Pasal 84 draf RKUHAP).

Peradi juga mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan karena penyadapan bisa menyasar ranah sangat pribadi, termasuk percakapan di tempat tidur atau ruang tamu, sehingga melanggar hak privasi warga.

Usulan tersebut mendapatkan dukungan dari sejumlah anggota Komisi III DPR. Soedeson Tandra (Fraksi Golkar) menyetujui penghapusan pasal tentang penyadapan, namun menyarankan pengecualian bagi kasus extraordinary crime seperti korupsi dan narkotika.

Namun, tidak semua pihak sepakat. Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menilai penghapusan kewenangan penyadapan terlalu ekstrem. Menurutnya, yang diperlukan adalah penguatan regulasi dan mekanisme kontrol yudisial atas penyadapan, bukan menghapusnya.

Beberapa pengusulan lainnya dari Peradi berupa penghapusan bukti petunjuk dan keterangan ahli dari RKUHAP. Mereka mengusulkan sistem simplifikasi alat bukti, hanya terdiri dari saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa.

Sapriyanto berpendapat bahwa bukti petunjuk sangat berisiko disalahgunakan sebagai “alat bantu” hakim untuk memutuskan, sedangkan keterangan ahli sering bersifat sepihak—lebih memihak penuntut umum dibanding penasihat hukum.

Proses RDPU Komisi III DPR ini berlangsung saat masa reses, namun tetap dibuka untuk publik. Forum dijadwalkan sejak 17 hingga 20 Juni 2025 untuk menyerap masukan dari advokat, akademisi, LPSK, mahasiswa, dan lembaga lainnya.

Komisi III menargetkan RKUHAP bisa selesai pada akhir 2025. Ketua DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menyampaikan harapan agar draf RKUHAP disahkan paling lambat Desember, sebagai pelengkap dari KUHP baru yang berlaku tahun 2026.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *