Nasional

Penjelasan Dwifungsi ABRI/TNI yang Dikhawatirkan Hidup Lagi

  • March 17, 2025
  • 4 min read
Penjelasan Dwifungsi ABRI/TNI yang Dikhawatirkan Hidup Lagi Ilustrasi prajurit TNI AD. Dok: Istimewa

JAKARTA Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah dibahas memunculkan kekhawatiran di kalangan berbagai pihak karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.

Alasannya, revisi tersebut akan memperbanyak jumlah jabatan di kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif TNI, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai indikasi kembalinya dwifungsi TNI.

Apa itu dwifungsi?

Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah konsep sekaligus kebijakan politik yang mengatur peran ABRI dalam kehidupan bernegara.

Dwifungsi ABRI merujuk pada dua peran yang dimiliki ABRI, yakni sebagai kekuatan militer Indonesia dan sebagai pengelola serta pengatur negara.

Kebijakan ini diterapkan pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun.

Konsep dwifungsi ABRI tidak lepas dari sejarah perkembangan organisasi militer di Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, para perwira militer merasa memiliki hak yang setara dengan warga sipil dalam menentukan kebijakan dan membangun negara.

Menurut jurnal Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016) karya D.W Firdaus, konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru berasal dari gagasan AH Nasution yang dikenal sebagai konsep jalan tengah.

Konsep jalan tengah ini menginginkan militer tidak hanya menjadi alat pertahanan dan keamanan negara.

Tetapi juga turut serta dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kemudian, gagasan jalan tengah dari AH Nasution ini diwujudkan oleh Soeharto melalui kebijakan dwifungsi ABRI.

Penerapan dwifungsi

Dwifungsi ABRI mulai diterapkan sejak awal Orde Baru, namun baru disahkan secara hukum oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.

Penerapan dwifungsi ABRI pada masa itu sangat memengaruhi kondisi sosial dan politik di Indonesia.

Melalui kebijakan ini, ABRI berhasil mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif pada era Orde Baru.

Sejak tahun 1970-an, sejumlah perwira aktif ABRI diangkat menjadi anggota DPR, MPR, atau DPD di tingkat provinsi.

Tak hanya itu, para anggota ABRI juga memegang posisi strategis dalam mengendalikan arah politik organisasi Golkar.

Akibat dwifungsi ABRI, porsi warga sipil di pemerintahan berkurang karena banyak jabatan diduduki oleh anggota ABRI.

Hal ini juga menyebabkan kurangnya transparansi dalam sistem pemerintahan Indonesia saat itu.

Puncak kejayaan dwifungsi ABRI terjadi pada dekade 1990-an, ketika anggota ABRI mengisi posisi kunci di berbagai sektor pemerintahan, seperti bupati, wali kota, gubernur, duta besar, pimpinan BUMN, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.

Keterlibatan militer yang semakin besar dalam kehidupan sosial dan politik mengubah militer menjadi alat kekuasaan rezim untuk mendukung kebijakan pemerintah.

Kekuasaan militer ini juga memicu pelanggaran HAM yang berujung pada kerusuhan.

Dwifungsi hidup lagi?

Saat gerakan Reformasi dimulai pada 1998, penghapusan dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda utama.

Agenda itu bersamaan dengan upaya mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berlangsung 32 tahun.

Setelah Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, dwifungsi ABRI mulai dihilangkan secara bertahap.

Namun, hampir 27 tahun pasca-runtuhnya Orde Baru, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI atau TNI muncul kembali.

Hal ini dipicu oleh rencana revisi UU TNI yang akan memperluas jumlah kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh anggota aktif TNI.

Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya ada 10 kementerian/lembaga yang boleh diisi anggota TNI.

Yaitu Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretaris Militer Presiden, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara.

Lebih lagi, terdapat Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search And Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Namun, dalam proses revisi UU TNI, jumlah jabatan yang dapat diisi prajurit aktif bertambah menjadi 16.

Lima kementerian/lembaga tambahan yang tercantum dalam draf revisi UU TNI adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

Belakangan, ditambahkan satu lembaga lagi yang dapat diisi anggota TNI aktif, yaitu Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan, keputusan penambahan BNPP ke dalam daftar kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif merupakan hasil pembahasan Panja RUU TNI, Sabtu (15/3/2025) di Jakarta.

“Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI,” ujar Hasanuddin, diberitakan dari Antara, Sabtu.

Dengan revisi ini, prajurit TNI aktif tidak perlu mundur dari dinas jika menduduki jabatan di kementerian atau lembaga tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *