Hensa: Penurunan Penerimaan Pajak Cerminan Kinerja Ekonomi Masyarakat

JAKARTA – Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) menyoroti penurunan penerimaan pajak yang terjadi di awal tahun ini.
Menurutnya, pemerintah perlu segera mengambil langkah komunikasi yang baik dan transparan dengan masyarakat terkait kondisi ini.
“Komunikasi yang baik dan transparan dari pemerintah kepada masyarakat tentang program ekonomi, termasuk insentif-insentif bagi UMKM, perlu segera dilaksanakan,” ujar Hensa kepada wartawan.
Hensa menilai, penurunan penerimaan pajak tidak boleh hanya dilihat sebagai cerminan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semata.
Lebih dari itu, kondisi ini bisa menjadi gambaran dari kinerja ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
“Penurunan pajak mungkin baik jika tidak semata-mata dilihat sebagai akibat dari kinerja DJP, tetapi juga sebagai cermin dari dinamika ekonomi yang dihadapi masyarakat,” tambahnya.
Ia menguraikan beberapa kemungkinan penyebab penurunan penerimaan pajak.
Pertama, adanya penurunan kegiatan usaha. Ketika ekonomi melambat, perusahaan kerap menghadapi penurunan penjualan dan laba.
Hal ini tidak hanya mengurangi penerimaan pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan, tetapi juga berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kedua, meningkatnya tekanan pada konsumen seperti inflasi, pengangguran, atau ketidakpastian ekonomi.
“Kondisi ini tidak hanya menurunkan penerimaan pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi juga memperburuk kondisi sosial karena masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok,” jelas Hensa.
Jangan hanya andalkan intensifikasi pajak
Untuk mengatasi hal ini, Hensa menyarankan agar pemerintah tidak hanya mengandalkan intensifikasi pajak, yang justru bisa menjadi beban tambahan di tengah ekonomi yang sulit.
Ia mendorong pendekatan jangka pendek dan menengah yang berfokus pada kebijakan pemulihan ekonomi.
“Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi sektor usaha yang berpotensi mendorong pemulihan, mempercepat belanja infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja, serta mendukung UMKM melalui kemudahan akses permodalan dan pasar,” paparnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya investasi pada pelatihan tenaga kerja dan pengembangan sektor berbasis ekspor.
“Langkah ini bisa memperluas basis pajak secara alami. Dengan aktivitas ekonomi yang lebih kuat, penerimaan pajak berpotensi meningkat tanpa harus membebani dunia usaha dan masyarakat dengan tarif pajak yang lebih tinggi,” pungkas Hensa.
Penerimaan pajak anjlok 30 persen
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa penerimaan pajak sampai dengan Februari 2025 telah mencapai Rp 187,8 triliun, yang merupakan 9,7 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Jumlah penerimaan pajak tersebut menunjukkan penurunan sebesar 30,19 persen.
Penurunan itu cukup tajam dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang mencatatkan Rp 269,02 triliun.
“Penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (13/03/2025).
Di sisi lain, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa penurunan drastis penerimaan pajak ini dipicu oleh beberapa hal.
Salah satunya anjloknya harga komoditas di pasar global. Komoditas seperti batu bara tercatat turun -11,8 persen, minyak brent -5,2 persen, dan nikel -5,9 persen.
Anggito juga menyebutkan bahwa penerimaan pajak bersifat musiman. Umumnya, penerimaan pajak meningkat pada bulan Desember seiring dengan momen Natal dan penutupan tahun anggaran, sedangkan pada periode Januari-Februari cenderung melambat.
Lebih lanjut, Anggito menambahkan bahwa kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) untuk PPh 21, yakni pajak yang dikenakan pada upah, gaji, dan honorarium karyawan serta pegawai, turut berkontribusi terhadap penurunan penerimaan pajak tersebut.