Tragedi Sidoarjo: 59 Orang Diduga Masih Tertimbun Reruntuhan Ponpes Al Khoziny

Operasi pencarian dan penyelamatan korban di lokasi ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, terus dilakukan tanpa henti. Memasuki hari keempat, Kamis (2/10), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa data mutakhir menunjukkan masih ada 59 orang yang diduga terjebak di bawah reruntuhan.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengonfirmasi angka tersebut. Data 59 orang ini dihimpun berdasarkan daftar absensi resmi yang dimiliki oleh pihak pondok pesantren serta laporan kehilangan yang disampaikan langsung oleh keluarga korban kepada posko darurat.
Muhari menjelaskan bahwa dinamika angka korban yang berubah-ubah disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk adanya nama-nama yang tercantum di daftar absensi namun ternyata selamat atau tidak berada di lokasi kejadian saat insiden nahas itu terjadi pada Senin (29/9) sore, tepatnya saat para santri tengah melaksanakan salat Ashar.
Upaya evakuasi yang dilakukan tim gabungan, terdiri dari SAR, TNI, Polri, dan relawan, sepanjang hari Rabu (1/10) memang berhasil menemukan sejumlah korban. Hingga malam hari, sebanyak lima orang berhasil dikeluarkan dalam keadaan hidup, meskipun satu orang di antaranya berada dalam kondisi kritis dan membutuhkan perawatan medis segera. Kelima penyintas tersebut langsung dilarikan ke RSUD Sidoarjo.
Namun, operasi penyelamatan juga membawa kabar duka. Tim di lapangan berhasil menemukan dua korban dalam kondisi tidak bernyawa, sehingga menambah total sementara korban meninggal dunia akibat insiden ini menjadi lima orang. Jenazah para korban tersebut telah dibawa ke RS Siti Hajar untuk proses identifikasi lebih lanjut.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi tim SAR adalah kekhawatiran terhadap struktur bangunan yang tersisa. Reruntuhan yang sangat labil dan rentan terhadap guncangan membuat penggunaan alat berat berpotensi tinggi membahayakan nyawa korban yang masih terjebak maupun tim penyelamat yang bertugas.
Pada Rabu malam, fokus utama tim penyelamat adalah melakukan asesmen ulang untuk memastikan kembali adanya tanda-tanda kehidupan, khususnya terhadap enam orang yang terakhir terdeteksi masih hidup. Lokasi korban yang sulit dan menantang, memaksa tim untuk menyusun strategi khusus yang mengedepankan keahlian teknis dan kehati-hatian.
Tragedi runtuhnya bangunan musala empat lantai ini diduga kuat disebabkan oleh kegagalan konstruksi (konstruksi failure). Laporan awal dan analisis para ahli konstruksi, termasuk dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menyoroti bahwa fondasi bangunan tidak sanggup menahan beban tambahan dari pengecoran lantai atas yang baru dilakukan.
Lebih lanjut, insiden ini kembali menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap standar keselamatan dalam pembangunan fasilitas publik, terutama institusi pendidikan. Mengacu pada regulasi seperti Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), setiap pembangunan seharusnya melibatkan analisis risiko dan pengawasan teknis yang memadai, suatu hal yang sering terabaikan dalam proyek mandiri.
BNPB menyatakan, jika dalam asesmen lanjutan tidak lagi ditemukan tanda-tanda kehidupan, musyawarah bersama keluarga korban akan kembali digelar untuk menentukan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan penggunaan alat berat untuk mengangkat seluruh reruntuhan. Harapannya, seluruh korban, baik selamat maupun meninggal, dapat segera dievakuasi tuntas.