Politik

Soal Usulan Pemberian Amnesti untuk Koruptor: Bagus untuk Ekonomi, Realisasinya Dipertanyakan

  • April 15, 2025
  • 3 min read
Soal Usulan Pemberian Amnesti untuk Koruptor: Bagus untuk Ekonomi, Realisasinya Dipertanyakan Ilustrasi koruptor (Foto: Istimewa)

Semoga dapat menjadi pemberitaan. Terima kasih 🙏

JAKARTA – Usulan pemberian amnesti bagi koruptor demi pemulihan keuangan negara memicu tanggapan dari sejumlah pengamat.

Sebelumnya, analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa), mengusulkan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti umum bagi koruptor yang beraksi sebelum masa kepemimpinannya, dengan syarat mereka mengembalikan seluruh aset atau dana yang dikorupsi.

Usulan ini diungkapkan untuk memulihkan keuangan negara guna mendanai proyek strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Hensa menegaskan, amnesti ini bertujuan membangun kebersamaan dan tanggung jawab bersama, bukan sekadar memaafkan pelaku.

“Negara butuh dana, dan ini soal persatuan. Koruptor diberi kesempatan terakhir untuk bertanggung jawab, tapi setelah itu hukuman harus lebih keras,” ujar Hensa kepada wartawan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kebijakan pemberian amnesti umum kepada koruptor ini berpotensi memperbaiki ekonomi, namun harus diterapkan dengan hati-hati karena korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

“Harus ada integritas dalam pelaksanaannya. Jika dipolitisasi atau melibatkan pihak korup, kebijakan ini hanya akan menguntungkan kelompok tertentu,” ujarnya.

Baca juga: Hensa Usul Presiden Prabowo Beri Amnesti Umum Bagi Koruptor Demi Pulihkan Keuangan Negara

Ia menegaskan, jika amnesti diberikan, aset koruptor beserta keluarganya harus disita untuk negara. Selain itu, menurutnya, pendekatan forward looking dalam pemberantasan korupsi dapat menghemat energi dengan tidak terpaku pada masa lalu.

“Pemberantasan korupsi harus forward looking, harus ada pemaafan dan
“move on”, sehingga energi tidak habis untuk mengurus masa lalu tapi masa kini dan masa depan lupa diurus, sehingga korupsi menjadi kejahatan yang berkelanjutan dan turun-temurun. Perlu ada cut-off date dan fokus ke depan,” tambahnya.

Namun, ia memperingatkan bahwa amnesti tidak boleh dikaitkan dengan pragmatisme untuk menutupi defisit anggaran.

“Integritas hukum tidak boleh dikorbankan demi penerimaan negara,” tegasnya.

Sebaliknya, pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, meragukan efektivitas amnesti untuk mengurangi korupsi. Ia menyebut banyak koruptor menyiasati hukuman dengan menyembunyikan aset di luar negeri.

“Dalam praktik, pengembalian kerugian negara sering nol besar, seolah-olah koruptor sudah pailit. Padahal, harta disimpan dan dialihkan ke luar negeri untuk diinvestasikan dan dinikmati setelah keluar dengan remisi yang jumlahnya besar.” katanya.

Fickar menyoroti fenomena “matematika korupsi”, di mana pelaku tak gentar dengan hukuman karena bisa “membeli” keringanan. Ia mengusulkan hukuman memiskinkan koruptor hingga ke akar-akarnya sebagai solusi lebih efektif.

Wijayanto melihat sisi positif amnesti, yakni memperkuat pemberantasan korupsi yang berorientasi ke depan.

“Tapi amnesti ini akan menciptakan ketidakadilan, dan upaya untuk menggolkan kebijakan ini tidak mudah. Banyak kelompok yang akan menolak,” ujarnya.

Fickar juga menilai amnesti sarat nuansa politis meski dikemas dengan tujuan kemanusiaan.

“Ini bukan soal pengembalian aset, tapi lebih ke politicking (permainan politik),” kritiknya.

Terkait perlindungan keluarga koruptor, Fickar menegaskan amnesti tidak menjamin keadilan. Ia menyebut pengembalian aset kerap tidak terealisasi, sementara koruptor tetap menikmati hasil kejahatannya setelah bebas.

“Meski terlihat bertujuan kemanusiaan dan usaha pengembalian harta negara, dalam praktiknya pengembalian itu nol besar,” pungkas Fickar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *