Soal Pemakzulan Gibran, Hensa Lihat DPR Sedang Tunggu “Momentum” Politik

JAKARTA – Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka masih terus menjadi perbincangan di kalangan publik. Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) melihat bahwa DPR saat ini tengah menanti “momentum” politik untuk membahas wacana pemakzulan tersebut.
“Kalau menurut saya, saat ini DPR yang orang-orang politik itu nunggu momentum aja. Jadi kalau momentumnya pas, ini akan dibahas, seperti ada kuncian-kuncian,” ujar Hensa dalam diskusi politik di podcast kanal YouTube Edshareon, yang dipandu oleh content creator Eddy Wijaya.
Soal kecocokan dengan konstitusi, Hensa menjelaskan bahwa pemakzulan secara konstitusional memungkinkan jika terbukti ada pelanggaran.
“Kalau tentang bisa, ya bisa. Aturannya ada, kalau kemudian melanggar hal-hal tertentu, dia bisa dimakzulkan,” katanya.
Namun, ia juga menyebut ada dua cara cepat yang bisa ditempuh di luar jalur konvensional. Pertama, meminta Gibran mengundurkan diri secara sukarela, yang kemungkinan besar melibatkan lobi politik intens, termasuk ke ayahnya atau pamannya, Anwar Usman, yang pernah rela diturunkan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
“Walaupun ada lobi-lobi, ya, pasti ke bapaknya, terutama ke paman yang udah pernah pasang badan,” ungkap Hensa.
Cara kedua, yang lebih kontroversial, adalah melalui putusan MK dengan memanfaatkan celah hukum, seperti pengajuan undang-undang baru atau kondisi darurat.
Hensa menyinggung pengalaman saat Gibran maju sebagai wapres, yang penuh kontroversi karena pendaftarannya dilakukan di hari Sabtu tanpa persidangan, hingga akhirnya lolos dengan mulus.
“Bisa juga dituruninnya pake cara kontroversial. Misalnya, ada termohon mengajukan permohonan ke MK, ada undang-undang baru bahwa bila kondisi mendesak, presiden boleh ganti wapres demi kelangsungan negara. Itu diputuskan MK, final and binding, langsung dikerjakan,” jelasnya.
Hensa mengakui membutuhkan waktu untuk menempuh jalur panjang melalui DPR, MK, hingga MPR membutuhkan bukti pelanggaran yang kuat dan dapat memicu pemakzulan Gibran.
Namun, ia menegaskan bahwa jalur cepat melalui judicial review atau penambahan pasal bisa mempercepat proses.
“Kalau ada judicial review terhadap pasal-pasal tertentu atau penambahan pasal tentang wakil presiden, ya ini bisa cepat. Begitu diputuskan bahwa ‘oke, presiden bisa ganti wakil presiden atas dasar subjektivitas presiden’, ketok palu, bisa diganti,” tegas Hensa.
Mengenai kemungkinan wacana ini terwujud, Hensa menilai semua bergantung pada dinamika politik. Ia mengingatkan bahwa politik Indonesia penuh kejutan.
“Tergantung arah angin politik aja. Orang bilang gak mungkin, dulu juga kita bilang gak mungkin Gibran jadi wapres, umur 36, batasnya 40. Ternyata dibikin 35, jadi mungkin. Jangan bilang gak mungkin, tiba-tiba bisa kejadian,” katanya.