JAKARTA – Analis komunikasi politik Hendri Satrio menilai, ada alasan mendasar mengapa pemerintah memilih tidak memilah-milah sekolah atau siswa penerima manfaat dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini.
Hensa, sapaan akrabnya, menyebut MBG memiliki semangat yang sama dengan kebijakan seragam sekolah yang sudah lama diterapkan di hampir seluruh sekolah di Indonesia, yakni membuat anak-anak dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi dalam satu ruang yang setara.

“MBG itu semangatnya sama persis dengan seragam sekolah. Kalau seragam kan semuanya sama: SD putih-merah, SMP putih-biru, SMA putih-abu-abu. Tidak ada yang bisa membedakan mana anak orang kaya, mana anak orang miskin. Itu yang ingin dicapai MBG,” ujar Hensa kepada wartawan.
Ia menegaskan, memilah-milah penerima manfaat justru akan berbahaya karena berpotensi memunculkan kembali stigma dan persaingan kelas sosial di lingkungan sekolah.
“Kalau kemudian nanti dipilah, misalnya dalam satu sekolah, ada yang memang perlu—mungkin sekitar 30-an persen—diberikan MBG dan yang lain tidak, lama-lama mungkin sekolah akan membuat kelas tersendiri untuk anak-anak yang menerima MBG, dan ini secara sosial tidak bagus,” kata Hensa.
Oleh karena itu, Hensa menyarankan pemerintah tetap melanjutkan pendekatan universal tanpa seleksi ketat berbasis kemiskinan di tingkat sekolah.
“Biarkan semua anak makan bersama, merasakan menu yang sama, duduk di kantin yang sama. Justru di situlah pendidikan karakter dan kebangsaan itu terbentuk. Bukan dengan memisahkan mereka sejak dini,” tutup Hensa.