JAKARTA – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka disorot pakar tata negara serta pengamat politik. Analis komunikasi politik (Hensa) Hendri Satrio menyampaikan analisisnya atas desakan publik melalui podcast di YouTube Hendri Satrio Official bertajuk “DUGAAN ADA KORUPSI Rp. 73,5 TRILIUN, PEPS: JOKOWI PANIK DAN COBA CUCI TANGAN?”.

“Ini ada desakan-desakan nih, teman-teman, dari media sosial. Saya mesti ngomong kayak gini,” ujar Hensa, sapaan akrabnya.

Ia menyebut pemerintahan Prabowo dibayangi tiga ‘hantu’ di bidang politik, hukum, dan ekonomi yang mengganggu program besar jika tak segera diselesaikan.

“Jadi, saya menyebutnya ini hantu pemerintahan Pak Prabowo. Kenapa hantu? Karena ini hal yang enggak jelas tapi bisa mengganggu gitu. Mengganggu kalau tidak segera dibereskan kan kalau kita nonton uka-uka segala macam begitu kan, kalau ada hantu-hantu tuh langsung diberesin kan,” ujar Hensa.

Lihat video lainnya hanya di Rujakpolitik.com.

Ijazah Gibran

Isu ijazah Gibran harus dijawab transparan oleh Gibran yang masih menjabat, berbeda dengan polemik ijazah Jokowi. Saat ini Gibran digugat perdata oleh Subhan Palal di PN Jakarta Pusat terkait keabsahan ijazah SMA dan dugaan perubahan data KPU; proses masih berlangsung.

“Tentang ijazah Jokowi itu bisa menunggu nanti selesai polemiknya lewat pengadilan atau apalah gitu. Karena Pak Jokowinya sudah tidak lagi menjabat. Nah, yang menurut saya perlu segera diselesaikan itu justru polemik ijazahnya Mas Gibran sebagai wakil presiden. Kenapa? Karena dia masih menjabat dan sedang menjabat,” kata Hensa.

“Jadi kalau Mas Gibran menurut saya ada keharusan untuk dia tampil ke publik menjelaskan, oh iya saya selesai di, kita enggak usah ngomong universitas tapi bicara tentang SMA aja. Oh iya saya selesai di SMA sekian sekian sekian, tahun berapa tahun berapa tahun berapa gitu,”

“Kenapa saya nyebutnya tahun berapa tahun berapa tahun berapa karena kan ada kabarnya dia sekolah di Australia, ada kabarnya dia sekolah di Singapura. Nah, maksud saya diclearkan aja dan dia harus tampil tuh untuk menyelesaikan polemik ini,” lanjutnya.

Founder Lembaga Survei KedaiKOPI itu menilai isu ijazah Gibran tidak serta-merta membebani Prabowo sebagai pasangan di Pilpres 2024.

“Menurut saya sih tentang latar belakang itu tidak ditanggung paketan. Kan latar belakangnya Mas Gibran ya, latar belakangnya dia gitu, bukan tanggung jawabnya Pak Prabowo,” jelasnya.

Hensa juga menyoroti desakan publik terhadap kinerja Gibran yang dinilai minim sebagai wakil presiden. Desakan itu dikaitkan dengan biaya negara untuk gaji dan operasional Gibran.

“Bahkan akhir-akhir ini kan banyak sekali suara dari masyarakat itu Wapres mesti dikasih kerjaan yang lebih berat lagi. Jangan sampai kemudian jadi Wapres enggak ada kerjaannya, akhirnya seperti menghabiskan uang negara gitu kan. Itu lebih parah lagi,” ujarnya.

Lihat video lainnya hanya di Rujakpolitik.com.

Silfester

Hensa menjelaskan bahwa ‘hantu’ kedua adalah Silfester Matutina, Ketua Solidaritas Merah Putih dan relawan Joko Widodo. Silfester divonis 1,5 tahun penjara atas fitnah terhadap Jusuf Kalla pada 2019, tetapi belum ditahan.

Kasus bermula dari orasi Silfester pada 2017 yang menuding Jusuf Kalla memecah belah bangsa dan korupsi.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 dibacakan pada 20 Mei 2019 oleh Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh. Silfester didakwa Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan Pasal 310 Ayat 1 KUHP.

Pembiaran eksekusi hukuman Silfester mencerminkan buruknya penegakan hukum di era Prabowo.

“Karena banyak sekali yang beranggapan bahwa penegakan hukum di era Pak Prabowo ini tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya karena Silfester,” ujarnya.

Menurut Hensa, restasi Kejaksaan mengembalikan kerugian negara Rp13,25 triliun dari kasus korupsi CPO itu serta merta juga menutupi kasus Silfester.

“Dengan hadirnya uang triliunan itu harusnya luar biasa dampaknya. Tapi ternyata banyak juga masyarakat yang bertanya, ‘Loh, tapi kenapa kemudian Silverster tidak eh dieksekusi juga?’ Nah, menurut saya ini harus diperjelas Silferster ini. Apakah Bang Silferster memang sudah selesai ya, tidak perlu lagi diungkit-ungkit hukumnya atau memang harus dieksekusi,” papar Hensa.

Lihat video lainnya hanya di Rujakpolitik.com.

Utang Kereta Cepat Whoosh

‘Hantu’ ketiga adalah utang Whoosh, proyek PSN era Jokowi (Perpres No. 3/2016) dengan pinjaman utama China Development Bank. Groundbreaking Januari 2016, peresmian 2 Oktober 2023.

Penumpang pertengahan 2025: 16.000-18.000/hari kerja, 18.000-22.000/akhir pekan; belum capai target 31.000.

Cost overrun US$1,2 miliar (Rp19,54 triliun); total investasi US$7,2 miliar (Rp116 triliun). 75% pinjaman CDB, sisanya modal PT KCIC (PSBI 60%, Beijing Yawan 40%).

PSBI rugi Rp1,625 triliun (semester I-2025); PT KAI tanggung Rp951,48 miliar. Kemenkeu tolak bayar via APBN; Danantara kelola utang.

“Akhirnya polemik yang berkepanjangan ini membuat masyarakat bingung juga dan akhirnya kembali berpolemik tentang siapa kemudian yang me-mark up luar biasa besar. Apakah ini ada peran Pak Jokowi Presiden ketujuh atau hanya perannya Pak Luhut,” kata Hensa.

Pelaku salah harus diidentifikasi dan dihukum.

“Menurut saya harus diselesaikan ya. Ini polemik Whoosh ini bisa larinya ke mana-mana termasuk akhirnya ke Danantara. Sebuah lembaga yang diimpi-impikan Pak Prabowo yang akan membantu perekonomian Indonesia.”

“Polemik berkepanjangan ini harus diselesaikan. Kalau memang ada yang salah, ya sudah tunjuk hidung yang bersalah dan dihukum,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *