JAKARTA – Di tengah hiruk-pikuk kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo Subianto yang baru berjalan setahun, kelas menengah Indonesia 2025 muncul sebagai paradoks mencolok. Kelompok ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Mereka menyumbang hingga 40 persen pertumbuhan PDB melalui konsumsi rumah tangga. Namun, pada tahun ini, mereka terperangkap dalam anomali kelas menengah. Daya beli tergerus. Tabungan menyusut. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik.
Bukan lagi mesin penggerak stabil, mereka kini seperti bom waktu. Bom ini bisa meledak jika tidak segera ditangani. Pendapatan mereka seret. Beban fiskal dari warisan utang semakin menekan. Selain itu, kebijakan baru menambah beban. Pemerintahan Prabowo punya visi pertumbuhan 8 persen. Oleh karena itu, mereka harus merangkul masyarakat menengah. Jika tidak, jurang kemiskinan baru mengancam.
Fenomena anomali ini bukan sekadar data statistik. Melainkan, realitas yang dirasakan jutaan keluarga urban. Misalnya, seorang guru di Jakarta mendapat subsidi rumah dari program 3 juta unit per tahun. Namun, ia tetap memotong belanja rekreasi untuk cicilan kendaraan. Di pedesaan, petani menengah bergulat dengan harga pupuk fluktuatif. Produksi beras surplus 3 juta ton sekalipun. Anomali kelas menengah mencerminkan ketidakseimbangan dalam. Ekonomi tumbuh 5,1 persen di kuartal pertama 2025. Tapi, distribusinya tidak merata.
Masyarakat menengah seharusnya menikmati dividen pertumbuhan. Malah, mereka terjepit antara kenaikan PPN 12 persen dan PHK massal di manufaktur. Jika dibiarkan, kondisi ini menggerus fondasi stabilitas sosial. Selama ini, fondasi itu telah dibangun dengan susah payah. Lihat juga analisis kebijakan ekonomi Prabowo di artikel terkait Rujak Politik.
Kelas Menengah: Dari Penggerak Ekonomi ke Korban Deflasi
Badan Pusat Statistik mendefinisikan kelas menengah Indonesia secara jelas. Mereka adalah rumah tangga dengan pengeluaran bulanan Rp2 juta hingga Rp9 juta per kapita. Pada 2019, jumlahnya mencapai 57,33 juta jiwa. Itu setara 21,5 persen dari total populasi. Namun, pandemi Covid-19 meninggalkan luka permanen. Hingga 2024, populasi ini menyusut drastis. Jumlahnya jadi 47,85 juta jiwa. Hanya 17,1 persen saja. Penurunan 9,5 juta jiwa ini bukan angka abstrak. Melainkan, jutaan orang yang turun kelas. Dari pekerja kantor menjadi buruh harian. Atau dari pemilik UMKM ke pengangguran terselubung. Laporan lengkap BPS Statistik Indonesia 2025.
Dampak Deflasi dan Kesenjangan Ekonomi
Di tahun 2025, anomali kelas menengah Indonesia semakin nyata. Deflasi berturut-turut selama lima bulan awal tahun menunjukkan daya beli merosot tajam. Rupiah melemah ke level terendah dalam lima tahun terakhir. Selain itu, indeks pasar saham anjlok 15 persen sejak Januari. Mereka bergantung pada gaji tetap dan cicilan. Oleh karena itu, mereka paling terpukul oleh gejolak ini. Populasi dengan penghasilan Rp5-30 juta per bulan turun. Dari 52 persen pada 2022 menjadi 43 persen di awal 2025. Penyebab utamanya adalah scarring effect pandemi. Dampaknya berlanjut. Sebanyak 60 persen kelas menengah alami penurunan konsumsi berkelanjutan.
Laporan Lembaga Penjamin Simpanan mencatat tabungan individu di bawah Rp100 juta menyusut. Ini terjadi sepanjang 2025. Rasio tabungan turun dari 3,4 kali pengeluaran bulanan pada 2020. Jadi 1,7 kali di pertengahan tahun. Masyarakat kelas menengah atas memang tumbuh. Simpanan di atas Rp5 miliar naik 12 persen. Tapi, hal ini justru memperlebar kesenjangan. Kekayaan 40 orang terkaya Indonesia melonjak 163 persen dalam dekade terakhir. Material Power Index mencapai 1.263.381. Artinya, kekayaan elite setara lebih dari sejuta kali rata-rata warga biasa.
Realitas Lapangan dan Ekonomi K-Shaped
Anomali kelas menengah ini menciptakan ekonomi K-shaped. Kelas atas melambung. Menengah terjepit. Bawah semakin terpuruk. Realitas di lapangan terasa lebih keras. Di Jabodetabek, 67 persen aspiring middle class melaporkan daya beli menurun. Dibandingkan 47 persen middle class inti. Mereka memotong belanja fesyen dan makan di luar. Lalu, mengalihkan dana ke kebutuhan pokok dan pendidikan. Baca artikel pemerintahan Prabowo lainnya di Rujak Politik.
Survei KedaiKOPI: Pergeseran Konsumsi Kelas Menengah yang Mengkhawatirkan
Lembaga Survei KedaiKOPI merilis temuan krusial pada akhir Oktober 2025. Survei berjudul “Perilaku Konsumsi & Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah”. Metodenya online-CASI terhadap 932 responden. Periode 14-19 Oktober 2025. Hasilnya menggambarkan pergeseran dramatis dalam perilaku konsumsi. Tiga dari lima responden merasakan pengeluaran rumah tangga naik. Itu 63 persen. Terutama untuk kebutuhan pokok. Sebanyak 62,1 persen alokasikan setengah pendapatan ke sana. Selain itu, pendidikan juga prioritas. Cicilan kendaraan, elektronik, dan rumah jadi beban utama. Sementara, belanja diskresioner seperti rekreasi dan fesyen dipangkas habis. Rilis resmi survei KedaiKOPI.
Tren PayLater dan Literasi Keuangan
PayLater muncul sebagai gaya hidup baru di kalangan kelas menengah Indonesia 2025. Sebanyak 57 persen responden pernah menggunakannya. Meskipun hanya 26,5 persen punya akses kartu kredit. Ini sinyal literasi keuangan rendah. Dipengaruhi e-commerce dan kondisi rumah tangga tegang. Sebanyak 54,4 persen responden sudah punya rumah lunas. Tapi, 61,4 persen pilih tabungan dan deposito sebagai investasi utama. Bukan saham atau properti berisiko. Ashma Nur Afifah, peneliti senior KedaiKOPI, merangkumnya. “Satu kalimat yang menggambarkan perubahan paling mencolok dengan konsumsi kelas menengah adalah fokus ke kebutuhan pokok.”
Ketidakpuasan Kebijakan dan Rekomendasi
Survei ini soroti ketidakpuasan terhadap kebijakan. Sebanyak 83,2 persen responden di Jabodetabek tolak kenaikan PPN 12 persen. 78,5 persen tidak setuju tarif KRL berbasis NIK. 55,6 persen khawatir pembatasan subsidi Pertalite bebani kelas menengah bawah. Faktor utama pergeseran ini beragam. Literasi keuangan lemah. Dorongan konsumsi impulsif melalui e-commerce. Tekanan kenaikan harga pangan, layanan dasar, dan cicilan. KedaiKOPI rekomendasikan stabilisasi harga pangan melalui operasi pasar. Perluas insentif seperti cek kesehatan gratis. Kuatkan komunikasi digital pemerintah kepada kelas menengah Indonesia 2025.
Temuan survei ini konfirmasi anomali kelas menengah. Kelompok yang seharusnya ekspansif malah defensif. Di tengah pertumbuhan ekonomi 5,1 persen, konsumsi mereka lesu. Konsumsi sumbang 81,49 persen total pengeluaran. Jika tidak dibalik, proyeksi Bank Indonesia revisi pertumbuhan 5,1 persen bisa lebih rendah.
Kelas Menengah di Bawah Pemerintahan Prabowo: Antara Harapan dan Tekanan
Pemerintahan Prabowo Subianto dilantik pada Oktober 2024. Mereka hadapi warisan berat. Utang Rp8.461 triliun hingga Agustus 2024. Jatuh tempo Rp800 triliun di 2025. Prabowo janji pertumbuhan 8 persen. Melalui hilirisasi sumber daya alam. Dan program makan bergizi gratis (MBG). Kepuasan publik capai 80,9 persen per Januari 2025. Namun, kelas menengah rasakan tekanan berbeda. Kepuasan mereka hanya 70 persen. Lebih rendah dari kelas bawah 84,7 persen.
Program Ikonik dan Harapan Nyata
Program ikonik seperti MBG dan 3 juta rumah subsidi beri harapan. Produksi beras surplus 3 juta ton dorong ketahanan pangan. Koperasi Desa Merah Putih diluncurkan Juli 2025. Target 74.000 unit koperasi. Ini ciptakan kelas menengah desa. Transformasi dari oligarki ke ekonomi rakyat. Dengan pinjaman lunak untuk UMKM perempuan dan pemuda. Namun, tantangan langsung muncul. PHK massal di manufaktur. Deflasi lima bulan. Ketidakpastian global tekan ekspor.
Sorotan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal jadi sorotan utama. Kenaikan PPN 12 persen bebani kelas menengah. Tapera dan iuran BPJS disesuaikan. Kontribusi PPh OP mereka hanya 1 persen pajak total. Kenaikan BBM non-subsidi ditolak. Tarif KRL berbasis NIK juga. Mayoritas responden menolaknya. Komunikasi pangan jarang sentuh kelas menengah. Mereka kuasai media dan opini publik.
Analis komunikasi politik sekaligus founder dari Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio mengingatkan: “Repotnya di kelas menengah ini, dia satu menguasai media komunikasi, dua dia jarang di-touch oleh pemerintah. Pemerintah ini banyak mengurus kelas bawah. Sehingga yang kelas menengah ini nanti, itu kita tunggu kapan. Tapi masalahnya, jika kelas menengah lama-lama tidak ditangani makin lama akan membuat pemerintah pusing.”
Target RPJMN dan Tantangan Lain
Prabowo tandatangani Perpres 12/2025 mengenai RPJMN 2025-2029. Target proporsi kelas menengah Indonesia 2025 capai 20 persen pada 2029. Angka ini pesimistis dibanding pra-pandemi. Teks lengkap Perpres No. 12 Tahun 2025. Tantangan lain mencakup kesenjangan wilayah barat-timur. Geoekonomi global. Dominasi sektor informal di kelas menengah.
Tantangan ke Depan untuk Kelas Menengah
Tahun 2025 jadi ujian berat bagi Prabowo. Lepas middle income trap butuh pertumbuhan 6-7 persen berkelanjutan. Kelas menengah menyusut 9 juta jiwa sejak era Jokowi. Mereka harus diperkuat melalui kebijakan inklusif. Pertama, ringankan pungutan fiskal. Tunda PPN 12 persen. Hapus SLIK yang hambat KPR. Beri keringanan pajak untuk UMKM. Pendapatan kaum ini pun seret. Hanya sumbang 1 persen pajak. Ini prioritas pemerataan “kue” ekonomi.
Dorong Lapangan Kerja Berkualitas
Kedua, dorong lapangan kerja berkualitas. Fokus sektor formal melalui hilirisasi dan digitalisasi. Bisa ciptakan 10 juta lowongan baru. Program Sekolah Rakyat untuk pra-sejahtera diekspansi. Dengan tiga jenis sekolah: pra-sejahtera, menengah, unggulan. Pendekatan ini putus rantai kemiskinan. Melalui pengembangan SDM unggul.
Tingkatkan Literasi Keuangan
Ketiga, tingkatkan literasi keuangan dan akses investasi. Survei KedaiKOPI tunjuk 61,4 persen responden pilih deposito. Pemerintah bisa dorong emas perhiasan. 73 persen punya sebagai lindung nilai. Optimalisasi bansos seperti cek kesehatan gratis. Dan sekolah rakyat. Plus, mitigasi dampak e-commerce terhadap ritel fisik. Ini perkuat ketahanan mereka.
Perkuat Komunikasi Digital
Keempat, perkuat komunikasi digital. Pemerintah harus sentuh melalui platform digital. Jelaskan manfaat MBG dan koperasi desa. Jika gagal, risiko NPL kredit naik. Konsumsi lesu. Ketegangan sosial meledak.
Prabowo punya modal kuat. Approval rating tertinggi di G20 per April 2025. Namun, tanpa aksi konkret, anomali kelas menengah jadi bom waktu. Pemerintahan harus buktikan bahwa kelas menengah bukan korban, melainkan mitra utama bangun Indonesia Emas 2045.