JAKARTA – Di tengah pembahasan reformasi hukum pidana nasional, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana muncul sebagai salah satu instrumen krusial untuk menyinkronkan seluruh ketentuan pidana di Indonesia. RUU ini bukan sekadar tambalan teknis, melainkan fondasi untuk membangun sistem pemidanaan yang lebih adil, proporsional, dan selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Dengan KUHP baru yang telah mengubah paradigma pidana, seperti penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dan penyeragaman kategori denda, RUU Penyesuaian Pidana hadir untuk menjembatani ratusan undang-undang sektoral, peraturan daerah (Perda), hingga ketentuan khusus yang masih bertebaran di berbagai regulasi lama.
Pembahasan RUU ini bergerak cepat di Komisi III DPR RI. Pada 2 Desember 2025, pemerintah dan delapan fraksi DPR sepakat membawa rancangan ini ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang. Langkah ini diambil agar tidak ada kekosongan hukum saat KUHP baru diterapkan.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, yang akrab disapa Eddy Hiariej, menekankan bahwa RUU ini lahir dari mandat Pasal 613 KUHP, yang mewajibkan penyesuaian seluruh undang-undang di luar KUHP dalam waktu tiga tahun.
“RUU ini disusun dalam rangka penyesuaian ketentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP, peraturan daerah, serta ketentuan pidana dalam KUHP baru agar selaras dengan sistem pemidanaan terkini,” ujar Eddy saat menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU ke DPR pada 24 November 2025.
Secara struktural, RUU Penyesuaian Pidana terdiri dari tiga bab dan 35 pasal. Bab I fokus pada penyesuaian pidana di undang-undang di luar KUHP, Bab II mengatur harmonisasi dengan Perda, sementara Bab III berisi penyempurnaan terhadap KUHP itu sendiri.
Target penyelesaiannya pun ambisius: selesai sebelum masa reses DPR akhir tahun ini, sehingga implementasinya bisa langsung menyertai KUHP baru.
Tanpa RUU ini, ribuan Perda dan undang-undang sektoral berisiko bertabrakan dengan prinsip pemidanaan modern, yang menekankan fleksibilitas bagi hakim tanpa mengorbankan kepastian hukum.
Proses legislasi RUU ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dan DPR untuk menghindari multitafsir di lapangan. Rapat pleno Komisi III pada 2 Desember 2025, yang dipimpin
Wakil Ketua Komisi III Dede Indra Permana Soediro, berakhir dengan persetujuan bulat dari seluruh fraksi.
“Setelah mendengar pandangan akhir mini fraksi dan pemerintah, apakah RUU tentang Penyesuaian dapat kita setuju dan dibawa ke tingkat II pada rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU?” tanya Dede, yang langsung dijawab “setuju” serempak oleh peserta rapat.
Kesepakatan ini datang setelah pembahasan intensif sejak 12 November 2025, sebagai tindak lanjut Surat Presiden Nomor R-67/Pres/10/2025 yang mengajukan RUU pada 31 Oktober 2025.
Latar Belakang
RUU Penyesuaian Pidana bukanlah inisiatif baru yang muncul begitu saja. Ia merupakan kelanjutan logis dari reformasi hukum pidana yang telah bergulir sejak pengesahan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. KUHP baru membawa perubahan mendasar, seperti penggantian pidana kurungan pokok dengan denda alternatif, penyeragaman ancaman pidana, dan penghapusan rumusan kumulatif yang kaku.
Namun, KUHP hanya mengatur kerangka umum. Di luar itu, ada ratusan undang-undang sektoral, seperti UU Narkotika, UU Korupsi, hingga UU Lingkungan Hidup, yang masih menggunakan skema pidana lama.
Belum lagi, lebih dari 10 ribu Perda yang sering kali mengandung ketentuan pidana kurungan tunggal untuk pelanggaran ringan, seperti parkir sembarangan atau kebisingan malam hari.
Pemerintah menyadari risiko inkonsistensi ini. Oleh karena itu, DIM RUU diserahkan pada 24 November 2025, dengan target pembahasan selesai dalam seminggu.
“Yang jelas RUU Penyesuaian Pidana ini harus diselesaikan sebelum KUHP baru berlaku. Kalau tadi kita melihat susunan rencana kerja, pada hari Selasa dan hari Rabu akan dilakukan pembahasan. Kemudian pada hari Senin akan ada persetujuan tingkat pertama, kemudian akan masuk di Paripurna,” kata Eddy Hiariej saat ditemui di Gedung DPR pada 24 November 2025.
Ia menambahkan bahwa RUU ini bersifat teknis, tanpa isu substansial yang rumit, karena fokusnya hanya pada harmonisasi.
Secara rinci, Bab I RUU mengatur penyesuaian pidana dalam undang-undang di luar KUHP. Ini mencakup tiga elemen utama: penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok, penyesuaian kategori denda dengan Buku I KUHP, dan penataan ulang ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif.
Kategori denda di KUHP baru dibagi menjadi delapan tingkat, mulai dari Rp1 juta (Kategori I) hingga Rp50 miliar (Kategori VIII). “Kategori I itu maksimumnya Rp1 juta, kemudian Rp10 juta, Rp50 juta, Rp200 juta, Rp500 juta, Rp2 miliar, Rp5 miliar, dan Rp50 miliar,” jelas Eddy dalam rapat Panitia Kerja (Panja) pada 26 November 2025.
Bab II difokuskan pada Perda. Pemerintah mengusulkan konversi seluruh pidana kurungan tunggal di Perda menjadi denda. Untuk pelaku perseorangan, denda maksimal Kategori II (Rp10 juta), sementara untuk korporasi hingga Kategori V (Rp500 juta).
“Jika perda itu dia pidana kurungan tunggal, maka dikonversi menjadi denda. Kalau pelakunya orang perseorangan, maka paling banyak kategori kedua, berarti Rp 10 juta. Tapi kalau pelakunya korporasi, itu diubah menjadi paling banyak kategori kelima yaitu sekitar Rp 500 juta,” ungkap Eddy.
Tujuannya jelas: mencegah overregulation di tingkat daerah dan menjaga proporsionalitas pemidanaan.
Sementara itu, Bab III menyempurnakan KUHP, termasuk perbaikan redaksional, penegasan ruang lingkup norma, dan harmonisasi ancaman pidana. Penghapusan pidana minimum khusus menjadi sorotan, meski dikecualikan untuk kasus berat seperti HAM berat, terorisme, pencucian uang, dan korupsi. Contohnya, untuk tindak pidana narkotika, pidana minimum dihapus agar hakim punya keleluasaan.
“Jadi memberikan kebebasan kepada hakim tetapi kita tidak perlu khawatir karena di dalam KUHP baru itu ada pedoman pemidanaan,” tambah Eddy pada 26 November 2025.
Pembahasan RUU ini juga melibatkan masukan dari berbagai pihak, meski tetap menjaga fokus pada aspek teknis. Panja dibentuk pada 1 Desember 2025, dengan jadwal rapat kerja pada 25-26 November untuk membahas substansi. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan bahwa RUU ini wajib ada sebelum KUHP berlaku.
“Jadi sebelum pemberlakuan KUHP itu harus ada Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” katanya pada 19 November 2025.
Isi Utama
Isi RUU Penyesuaian Pidana dirancang untuk menciptakan sistem hukum yang terintegrasi dan modern. Pertama, penghapusan pidana kurungan pokok di undang-undang sektoral dan Perda. Di KUHP baru, kurungan hanya berlaku sebagai pidana tambahan atau pengganti denda jika terbukti tidak mampu membayar.
Usulan pemerintah mengubah frasa “kurungan dan denda” menjadi “kurungan dan/atau denda”, sehingga bersifat alternatif, bukan kumulatif. Hal ini memberi ruang bagi hakim untuk memilih sanksi yang paling tepat, sesuai pedoman pemidanaan di KUHP.
Kedua, penyesuaian kategori denda. Semua undang-undang di luar KUHP harus mengadopsi delapan kategori denda KUHP, menghindari ketidakseragaman yang selama ini membingungkan penegak hukum. Misalnya, denda untuk pelanggaran lingkungan atau lalu lintas di Perda harus disesuaikan agar tidak melebihi batas nasional.
“Penyesuaian terhadap UU KUHP dilakukan pada pasal-pasal yang memerlukan perbaikan redaksional dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, dan harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru,” papar Eddy pada 24 November 2025.
Ketiga, penyempurnaan KUHP termasuk ketentuan baru yang progresif. Salah satunya, pidana tambahan pencabutan hak profesi bagi pelaku kejahatan berulang. Ketentuan ini berlaku jika pelaku mengulangi tindak pidana yang sama dalam profesinya dalam waktu dua tahun sejak putusan sebelumnya inkrah.
“Ayat 2: Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf F,” baca Badan Keahlian DPR dalam rapat pada 1 Desember 2025.
Ini diadopsi dari Pasal 86 huruf F KUHP, dan berlaku untuk profesi seperti jurnalis atau dokter yang menyalahgunakan wewenang.
Tambahan lain yang menarik adalah pengecualian pidana untuk pemberian obat penggugur kehamilan bagi korban pemerkosaan. Pasal 251 ayat 3 RUU menyatakan bahwa pemberian obat kepada perempuan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan (dengan umur kehamilan tidak lebih dari 14 minggu atau indikasi darurat medis) tidak dipidana.
“Perbuatan dimaksud pada ayat 1 dikecualikan untuk pemberian obat kepada perempuan yang merupakan tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis,” bunyi pasal tersebut, yang diterima pemerintah atas usul Fraksi PAN dan Nasdem pada 1 Desember 2025.
Untuk kasus narkotika, RUU memasukkan pasal-pasal sementara karena RUU Narkotika belum rampung. Beberapa pasal yang dicabut di KUHP dikembalikan sebagai “pintu darurat” untuk menghindari kekosongan hukum.
“Kan ada beberapa pasal yang dicabut dalam KUHP nasional, pada saat itu kita berpikir Undang-Undang Narkotika akan selesai, ternyata kan belum selesai, sehingga pasal-pasal yang dicabut itu dikembalikan lagi,” jelas Eddy pada 1 Desember 2025.
Dampak RUU ini bagi sistem hukum pidana sangat luas. Pertama, mengurangi overcrowding di lembaga pemasyarakatan dengan mengganti kurungan ringan menjadi denda, sehingga beban negara berkurang. Kedua, meningkatkan efisiensi peradilan karena hakim punya pedoman yang jelas, menghindari multitafsir. Ketiga, menjamin keseragaman hukum dari pusat hingga daerah, mencegah Perda yang diskriminatif atau berlebihan. Keempat, membuka ruang restoratif justice melalui alternatif pidana, seperti pidana tambahan yang lebih tepat sasaran.
Secara keseluruhan, RUU ini memperkuat prinsip hukum pidana Indonesia yang humanis dan proporsional, sejalan dengan amanat konstitusi.
Dalam konteks lebih luas, RUU Penyesuaian Pidana juga menjadi ujian bagi komitmen reformasi hukum pasca-KUHP dan KUHAP baru. Dengan pengesahan yang direncanakan segera, diharapkan implementasi di lapangan berjalan mulus mulai Januari 2026.
Pemerintah menargetkan harmonisasi penuh dalam tiga tahun, termasuk revisi undang-undang sektoral lanjutan. Bagi masyarakat, ini berarti sanksi pidana yang lebih adil: tidak lagi terjebak kurungan untuk pelanggaran kecil, tapi tetap tegas untuk kejahatan serius.
RUU Penyesuaian Pidana, dengan segala ketentuannya yang detail, membuka babak baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Ia bukan hanya tentang menyesuaikan kata-kata di undang-undang, tapi tentang membangun keadilan yang nyata dan dapat diakses oleh semua warga negara.
Saat paripurna DPR digelar, kita patut berharap agar undang-undang ini menjadi tonggak perubahan yang berkelanjutan.