Rujak Hari Ini: PPP dan Bayang-Bayang “Belah Bambu”
JAKARTA – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali dihadapkan pada ujian berat yang mengingatkan pada masa lalu kelamnya. Muktamar X PPP yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, sejak Sabtu (27/9/2025) hingga Senin (29/9/2025), justru berakhir dengan dualisme kepemimpinan yang memanas.
Dua kubu saling klaim kemenangan aklamasi, melahirkan spekulasi soal politik belah bambu yang kental aroma perebutan kekuasaan. Suasana ricuh, dari saling teriak hingga lempar kursi, menjadi panggung tragis bagi partai berlambang Ka’bah ini. Di tengah gejolak itu, pemerintah menegaskan sikap netral, sementara Presiden Prabowo Subianto memilih tak cawe-cawe. Apa yang sebenarnya terjadi di balik bayang-bayang pembelahan ini?
Politik Belah Bambu
Politik belah bambu bukanlah istilah baru dalam khazanah politik Indonesia. Strategi ini, yang berasal dari taktik kolonial Belanda dan Jepang, melibatkan upaya memecah belah kelompok yang solid dengan cara mengangkat satu pihak ke atas sambil menginjak pihak lain ke bawah. Seperti bambu yang utuh dibelah menjadi dua bagian tak seimbang, praktik ini bertujuan melanggengkan kekuasaan penguasa dengan memanfaatkan konflik internal.
Pada era Orde Baru, taktik serupa diterapkan melalui fusi partai-partai Islam menjadi PPP, Golkar, dan PDI, untuk membatasi oposisi. Di masa kini, bayang-bayang belah bambu sering muncul dalam dinamika partai politik, termasuk PPP sendiri.
Sejarah PPP mencatat dualisme kepemimpinan pada 2015-2017, ketika kubu Muhammad Romahurmuziy dan Djan Faridz berseteru sengit. Mahkamah Agung akhirnya memihak Romahurmuziy melalui peninjauan kembali pada 2017. Kini, pola serupa terulang, dengan tudingan bahwa upaya pembelahan ini bertujuan melemahkan partai menjelang Pemilu 2029.
Praktik ini tak hanya merusak soliditas internal, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap partai yang mengusung nilai persatuan.
Duel Saling Klaim di Arena Muktamar
Puncak ketegangan terjadi sejak pembukaan muktamar pada Sabtu sore. Pendukung Plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono, yang menuntut kelanjutan kepemimpinannya untuk periode 2025-2030, bentrok dengan kubu Agus Suparmanto yang mendesak perubahan.
Suasana memanas saat profil Agus diperkenalkan, memicu sorakan dan dorongan fisik di ballroom hotel. Petugas keamanan harus turun tangan untuk meredam keributan yang berlangsung sekitar 10 menit.
Kubu Mardiono lebih dulu mengumumkan kemenangannya. Dalam konferensi pers di suite hotel, Amir Uskara, Ketua Sidang Paripurna, menyatakan Mardiono terpilih secara aklamasi karena “kondisi tidak kondusif”.
“Karena kondisi tidak kondusif, maka kita aklamasi untuk Mardiono,” tegas Amir, menambahkan bahwa 30 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) mendukungnya.
Mardiono sendiri menegaskan komitmennya membenahi partai dan mendukung program prioritas Presiden Prabowo, termasuk swasembada pangan.
“Sebagai partai yang berjalan bersama pemerintah, PPP akan mendukung program-program prioritas Bapak Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.
Tak mau kalah, kubu Agus Suparmanto menggelar tasyakuran di Discovery Hotel Ancol pada Minggu (28/9/2025). Qoyum Abdul Jabbar, Ketua Sidang Paripurna VIII, mengklaim Agus terpilih aklamasi oleh mayoritas muktamirin.
“Aklamasi Pak Agus Suparmanto merupakan kehendak muktamar dan aspirasi muktamirin yang menentukan keputusan,” katanya dalam pernyataan tertulis.
Dukungan datang dari Romahurmuziy, yang menyebut klaim Mardiono sebagai “berita palsu dan upaya memecah belah”.
“Ini muktamar atau mau ngamar? Setelah kabur dari arena muktamar, mengumumkan aklamasi dari kamar,” sindir Rommy, menyoroti foto aklamasi Mardiono yang dilakukan di kamar hotel.
Dualisme ini mengulang sejarah PPP yang rawan konflik setiap muktamar. Kubu Mardiono menuding lawan sebagai “orang luar partai”, sementara kubu Agus menilai proses mereka lebih demokratis.
Akibatnya, muktamar yang semestinya berlangsung tiga hari mendadak usai sehari, meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang bisa berujung pada perpecahan permanen.
Menkum Teliti, Prabowo Tak Cawe-Cawe
Pemerintah cepat merespons gejolak ini dengan sikap hati-hati. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas mengaku belum menerima data dualisme kepemimpinan.
“Saya belum dapat datanya, belum tahu apa yang terjadi di PPP,” katanya di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (28/9/2025).
Ia menjanjikan penelitian lebih lanjut terhadap kedua klaim, termasuk pendaftaran kepengurusan ke Kemenkumham.
“Kemenkumham akan teliti dua kepemimpinan PPP hasil muktamar ke-10,” tegasnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra lebih tegas menegaskan netralitas.
Pemerintah wajib bersikap objektif dan tidak boleh memihak kepada salah satu kubu yang bertikai dalam dinamika internal partai mana pun,” ujar Yusril dalam keterangan tertulis Senin (29/9/2025).
Ia mempersilakan kedua kubu mendaftarkan kepengurusan, tapi menolak jika diminta jadi penengah.
“Kalau bisa, kedua pihak jangan meminta pemerintah untuk menjadi penengah atau fasilitator konflik internal. Sebab, hal tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai bentuk intervensi atau tekanan halus dari pemerintah.”
Sikap ini sejalan dengan pendirian Presiden Prabowo Subianto yang tak mau cawe-cawe. Meski PPP mengundang Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke penutupan muktamar, konfirmasi kehadiran masih ditunggu.
“Cawe-cawe secara kelembagaan ya enggak mungkin.” tegas Sekjen PPP Arwani Thomafi.
Prabowo, yang baru saja menjabat, tampaknya ingin menjaga jarak dari konflik internal koalisi, fokus pada program prioritas seperti pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat. Undangan itu sendiri menjadi simbol harapan PPP agar muktamar berjalan kondusif, tapi kini justru menambah spekulasi soal pengaruh eksternal.
Ancaman bagi PPP dan Koalisi Pemerintah
Dualisme kepemimpinan ini bukan hanya masalah internal PPP, tapi juga mengancam posisi partai di koalisi pemerintahan Prabowo. Sudah gagal lolos ke Senayan di Pemilu 2024, PPP kini berisiko kehilangan relevansi menjelang 2029.
“PPP yang notabenenya partai Islam tidak sepatutnya mengedepankan pertikaian dan keributan. Kalau maunya ribut terus dan hanya cari sensasi saja, bagaimana mau mendapatkan simpati dari umat?,” ujar Wakil Ketua Umum PPP Rusli Effendi.
Ia menolak pengulangan era Romahurmuziy-Djan Faridz, di mana partai terpecah belah. Bagi koalisi, konflik ini bisa melemahkan soliditas dukungan terhadap Prabowo.
Meski Mardiono menjanjikan loyalitas penuh, ketidakpastian kepemimpinan berpotensi memicu friksi di parlemen.
“Tidak mau membawa PPP ke pusaran konflik seperti era Muhammad Romahurmuziy dan Djan Faridz. Kala itu, PPP terpecah belah menjadi dua kubu,” ujar Rusli.
Akhirnya, bayang-bayang belah bambu ini mengingatkan PPP untuk kembali pada akar persatuannya. Hanya dengan rekonsiliasi internal, partai Ka’bah ini bisa bangkit sebagai kekuatan Islam moderat yang mendukung agenda nasional. Jika tidak, risiko marginalisasi di panggung politik nasional semakin nyata.
Hari ini, rujaknya pahit: pembelahan yang seharusnya dihindari justru menjadi realitas.