Umum

Rujak Hari Ini: Pemangkasan TKD 2026, Ancaman bagi Otonomi Daerah?

  • October 9, 2025
  • 6 min read
Rujak Hari Ini: Pemangkasan TKD 2026, Ancaman bagi Otonomi Daerah? Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa saat menemui Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) , Selasa (7/10/2026). (Dok. Istimewa)

JAKARTA – Kebijakan pemangkasan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menjadi isu paling hangat di akhir tahun ini. Dengan alokasi yang turun drastis menjadi Rp650 triliun dari Rp864 triliun pada 2025, sebuah penurunan hingga 24.7 persen, pemerintah pusat berupaya menjaga kestabilan fiskal nasional.

Namun, langkah ini memicu gelombang protes dari para kepala daerah yang khawatir akan menghambat roda pembangunan dan pelayanan publik di tingkat lokal. Di balik efisiensi yang dijanjikan, polemik ini mengungkap ketegangan antara sentralisasi anggaran dan semangat otonomi daerah yang telah dijalankan sejak era reformasi.

Keputusan ini tidak datang begitu saja. Pemerintah menilai bahwa pemangkasan diperlukan untuk mengatasi keterbatasan ruang fiskal akibat defisit APBN yang diproyeksikan melebar menjadi 2.68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski DPR akhirnya menambah Rp43 triliun menjadi Rp693 triliun, angka itu masih jauh di bawah kebutuhan daerah.

Polemik ini mencerminkan dilema besar: bagaimana menyeimbangkan penghematan pusat dengan kebutuhan mendesak di daerah, di mana TKD sering menjadi tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Di Balik Pisau Bedah Anggaran TKD

Pemangkasan TKD 2026 bukan kebijakan impulsif melainkan respons atas evaluasi mendalam terhadap kinerja pemerintah daerah selama ini. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi belanja dan menekan kebocoran anggaran di tingkat lokal.

“Banyak penyelewengan dan penggunaan yang tidak sesuai peruntukan,” katanya saat menjawab keluhan para gubernur.

Secara lebih luas, keterbatasan fiskal menjadi pendorong utama. Dengan belanja negara yang naik 17.7 persen menjadi Rp3.842 triliun, pemerintah harus memprioritaskan program nasional seperti infrastruktur pusat dan bantuan sosial sambil menjaga defisit agar tidak melebihi batas aman.

Pemangkasan ini juga bagian dari agenda efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto, termasuk pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk mengoptimalkan sumber daya alam tanpa bergantung sepenuhnya pada transfer dana.

Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi Kumorotomo menyebut kebijakan ini “aneh” karena bertentangan dengan prinsip desentralisasi fiskal sejak 2001, di mana TKD seharusnya menjadi instrumen pemerataan kesejahteraan.

“Untuk program MBG terjadi peningkatan hingga lima kali lipat menjadi Rp335 triliun, tetapi subsidi ke daerah yang bisa mendorong keberlanjutan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja justru dikurangi dalam jumlah yang sangat signifikan,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (8/9/2025).

Purbaya menambahkan bahwa pemotongan bersifat proporsional dengan penyesuaian lebih lanjut di pertengahan 2026 jika penerimaan pajak melonjak. Ia menekankan bahwa ini bukan sentralisasi permanen melainkan dorongan bagi pemda untuk memperbaiki kualitas belanja.

“Kalau pajak naik, dana akan dikembalikan ke daerah,” ujarnya.

Namun bagi banyak daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mencapai 24 hingga 30 persen dari APBD, pemangkasan ini terasa seperti pukulan telak.

Gelombang Protes Gubernur

Tak ayal kebijakan ini memicu reaksi keras dari para kepala daerah. Pada 7 Oktober 2025, sebanyak 18 gubernur dari berbagai provinsi, termasuk Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Laos, dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, menggeruduk kantor Kementerian Keuangan di Jakarta. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menuntut pembatalan pemangkasan karena dianggap mengancam stabilitas daerah dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Al Haris, sebagai Ketua Umum APPSI, menyatakan bahwa TKD adalah “nafas” bagi APBD provinsi. Di Jambi misalnya, anggaran turun dari Rp4.6 triliun menjadi Rp3.1 triliun, atau potongan Rp1.3 triliun. Ia menambahkan bahwa beban pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN) dan program prioritas semakin berat.

“Ini luar biasa berdampak terhadap APBD kami di tahun 2026 ke depan,” katanya.

Sherly Tjoanda Laos tak kalah vokal; di Maluku Utara, Dana Bagi Hasil (DBH) dipangkas 60 persen, membuat total TKD hanya Rp6.7 triliun dari Rp10 triliun tahun sebelumnya. Ia pun memperingatkan potensi gejolak sosial jika proyek jalan dan sekolah terhenti.

“TKD yang tersisa hanya cukup untuk belanja rutin, infrastruktur tertunda, dan layanan dasar terganggu,” tegasnya.

Muzakir Manaf dari Aceh juga menyoroti ketidakadilan dengan pemangkasan 25 persen yang memukul pembangunan infrastruktur di daerah otonomi khusus.

“Kami usulkan supaya tidak dipotong karena itu beban semua provinsi,” ujarnya.

Protes serupa bergaung dari Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad yang mengeluhkan penurunan Rp534 miliar menjadi Rp1.467 triliun, serta Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud yang khawatir krisis fiskal di daerah kecil.

Bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ikut bersuara, meminta tinjau ulang karena pemangkasan 29.34 persen melanggar UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menambahkan bahwa ini berpotensi menghentikan proyek infrastruktur dan menurunkan laju ekonomi lokal, terutama di daerah dengan kapasitas fiskal rendah.

“Jadi perlu dievaluasi lagi (kebijakan pusat), kasihan daerah, evaluasi lagi karena kalau pusat menggencarkan kepentingannya tapi kalau daerahnya tidak berjalan dengan baik, maka apa yang dikerjakan pusat itu tidak akan bisa optimal,” ujarnya, Selasa (7/9/2025).

Penghematan Pusat vs Risiko Daerah

Di balik kontroversi, efektivitas pemangkasan TKD terhadap APBN patut dipertanyakan. Dari sisi pusat, langkah ini dianggap berhasil menciptakan ruang fiskal lebih besar untuk program nasional. Dengan defisit terkendali di 2.68 persen PDB, pemerintah bisa mengalihkan dana ke belanja produktif seperti Rp1.300 triliun untuk program daerah melalui mekanisme lain, naik dari Rp900 triliun tahun ini.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga menyambut positif efisiensi ini, menyebut pemangkasan perjalanan dinas dan fasilitas protokoler di kementerian sebagai “langkah strategis” untuk APBN yang lebih sehat dan tepat sasaran.

Namun efektivitasnya diragukan jika dilihat dari dampak jangka panjang. Akademisi UGM Wahyudi Kumorotomo memprediksi gejolak politik, ekonomi, dan sosial karena daerah dipaksa menaikkan PAD melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau retribusi yang berisiko membebani masyarakat miskin. “Fenomena flypaper effect masih nyata: dana transfer membuat pemda belanja lebih besar tanpa inovasi PAD,” katanya, menyoroti bahwa rata-rata PAD hanya 24.18 persen dari APBD.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menambahkan bahwa tambahan Rp43 triliun hanya cukup untuk “roda pemerintahan berjalan”, bukan untuk pembangunan signifikan, selisih Rp155 triliun dari 2025 tetap terlalu besar.

Pemangkasan ini juga berpotensi melemahkan otonomi daerah, seperti yang ditekankan Presiden Institut Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan. Tanpa TKD yang memadai, daerah sulit memenuhi layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, sementara pemerintah pusat menyalurkan dana melalui program vertikal yang kurang fleksibel.

Efektivitas sejati, kata para pakar, tergantung pada sinergi: pemda harus berinovasi PAD, sementara pusat memberikan insentif bagi kinerja baik. Jika tidak, polemik ini bisa menjadi bom waktu bagi pemerataan pembangunan nasional.

Polemik TKD 2026 mengingatkan kita bahwa fiskal bukan sekadar angka, tapi soal keseimbangan kekuasaan. Pemerintah pusat berharap pemangkasan ini mendorong kemandirian daerah, tapi tanpa dukungan nyata, risikonya justru ketidakmerataan yang lebih dalam.

Di tengah tahun politik yang kian panas, solusi kolaboratif tampaknya jadi kunci untuk menjaga harmoni antara Jakarta dan pelosok negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *