Rujak Hari Ini: Keracunan MBG, Ujian Berat Cita-Cita Prabowo
JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai tonggak revolusi gizi anak bangsa kini berada di ujung tanduk. Ambisi mulia Presiden Prabowo Subianto untuk memberi asupan bergizi kepada jutaan siswa sekolah di seluruh Indonesia justru berbalik menjadi mimpi buruk.
Kasus keracunan massal akibat konsumsi makanan MBG terus membengkak, meninggalkan trauma mendalam bagi ribuan anak dan keluarga mereka. Hingga akhir September 2025, data dari berbagai lembaga menunjukkan angka korban yang mencengangkan, sementara suara desakan evaluasi kian menggelegar dari parlemen hingga masyarakat sipil
Di tengah ramainya kasus ini, janji tindakan tegas dari petinggi negara mulai terdengar, menjanjikan titik terang bagi masa depan program yang sempat menjadi kebanggaan nasional.
Lonjakan Kasus Keracunan
Gelombang keracunan MBG bukan lagi sekadar insiden sporadis, melainkan epidemi diam-diam yang merajalela di 16 provinsi. Sejak program ini resmi diluncurkan Januari 2025, laporan dari Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 4.711 kasus hingga 22 September, tersebar di puluhan kota dan kabupaten.
Angka ini melonjak drastis dalam pekan-pekan terakhir, dengan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan lebih dari 5.360 anak mengalami gejala mual, muntah, pusing, diare, hingga kejang parah akibat makanan yang seharusnya menjaga kesehatan mereka.
Puncak tragedi baru-baru ini terjadi di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, di mana 631 siswa dari berbagai jenjang sekolah menjadi korban pada 22-24 September. Beberapa di antaranya mengalami kondisi mengkhawatirkan seperti buang air besar bercampur darah dan kejang-kejang, hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Di Sulawesi Tenggara, 46 siswa SMA 7 Baubau diracuni gejala serupa setelah menerima menu MBG yang diduga basi. Sementara di Kalimantan Utara, puluhan siswa SD Nunukan Selatan jatuh sakit sejak Januari, menandai awal dari rangkaian bencana ini.
Lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut angka resmi hanyalah puncak gunung es, karena banyak sekolah dan pemerintah daerah diduga menutupi kasus untuk menghindari sorotan.
“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025,” ujar Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih.
Hingga kini, dari 1 miliar porsi makanan yang diproduksi, ribuan porsi ternyata mengandung racun tak terlihat, merusak kepercayaan orang tua yang kini trauma dan melarang anaknya menyentuh hidangan MBG.
Kelemahan Sistem yang Mengkhawatirkan
Program MBG yang besar secara anggaran ini menimbulkan pertanyaan dalam pengelolaannya. Pengolahan makanan yang dimulai sejak subuh di dapur-dapur besar sering kali mengabaikan standar higienis, seperti kurangnya pengawasan supervisi dan pergantian pemasok bahan baku yang mendadak.
Di Maluku Barat Daya, misalnya, keracunan massal disebabkan oleh bahan mentah yang tak layak konsumsi.
Ahli gizi dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia, Atik Nirwanawati, menduga faktor seperti penyimpanan tidak tepat dan distribusi terlambat menjadi biang kerok utama.
“Jika tim supervisinya jalan, nggak akan terjadi keracunan,” tegasnya.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama CISDI terhadap 1.624 responden anak di 12 provinsi mengungkap fakta kelam: lebih dari 500 anak pernah menerima makanan MBG dalam kondisi bau, rusak, atau basi.
Absorpsi anggaran Rp71 triliun untuk 2025 pun baru mencapai 18,6 persen per pertengahan September, menandakan dana raksasa itu tak optimal digunakan untuk memperkuat sistem pengendalian mutu. BGN sendiri mengakui, meski telah membentuk Satgas Kejadian Luar Biasa (KLB), surat internal yang melarang pelaporan kasus keracunan justru memperburuk situasi.
“Kami atas nama pemerintah memohon maaf karena telah terjadi kembali beberapa kasus,” ujar Kepala BGN Dadan Hindayana.
Tanpa kerangka hukum yang jelas juga peraturan presiden pelaksana belum terbit, program ini beroperasi seperti kapal tanpa nahkoda, rentan dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
Desakan DPR: Investigasi Transparan, Libatkan Masyarakat Sipil
Kemarahan parlemen tak terbendung. Ketua DPR RI Puan Maharani menyerukan evaluasi total tanpa saling menyalahkan, menekankan bahwa anak-anak tak boleh jadi korban kebijakan negara.
“Kami ingin melihat dari hulunya, apakah masalahnya di dapurnya atau di sekolahnya,” katanya di Gedung DPR, 23 September.
Wakil Ketua Komisi IX Charles Honoris menyambut baik tim investigasi BGN, tapi mendesak keterlibatan masyarakat sipil dan tenaga kesehatan untuk objektivitas.
“Tim ini harus bekerja berbasis data lapangan dan fakta empiris,” tambahnya.
Komisi X DPR melalui My Esti Wijayanti juga khawatir dengan model dapur besar yang mengelola ribuan porsi sekaligus, yang rawan kontaminasi.
“DPR RI meminta supaya dilakukan evaluasi total,” tegasnya saat kunjungan ke Gunungkidul, 24 September. Anggota Komisi IX Netty Prasetiyani Aher bahkan mendesak investigasi standar keamanan pangan dari hulu ke hilir, termasuk penyediaan dan distribusi.
Desakan ini bergema di tengah data Kementerian Kesehatan yang mencatat 60 kasus dengan 5.207 penderita per 16 September, dan BPOM dengan 55 kasus serta 5.320 korban per 10 September.
Prabowo Turun Tangan
Di tengah badai kritik, Presiden Prabowo Subianto menyiapkan respons cepat. Usai menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, ia berjanji memanggil seluruh pengelola dapur MBG untuk rapat darurat.
Pertemuan ini akan jadi ajang arahan langsung, fokus pada standar keamanan pangan dan pencegahan insiden serupa.
“Presiden harus turun langsung memberi arahan kepada pengelola dapur agar paham standar penyajian yang benar,” ujar Anggota Komisi IX Zainul Munasichin, menyambut rencana itu.
Prabowo, yang sebelumnya mengklaim keberhasilan MBG 99,99 persen meski ada 200 korban dari 3 juta penerima, kini mengakui urgensi zero incident. Ia menekankan pengawasan ketat, termasuk kebiasaan sederhana seperti mencuci tangan siswa dan penggunaan sendok.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi menyangkut keselamatan anak-anak,” tambahnya.
Dengan anggaran melonjak ke Rp335 triliun pada 2026, panggilan ini diharapkan jadi katalisator perubahan, mengubah MBG dari ancaman menjadi benteng gizi nasional.
Tragedi keracunan MBG ini bukan akhir dari mimpi besar, tapi panggilan untuk introspeksi. Ribuan anak yang trauma hari ini adalah pengingat bahwa kebijakan negara harus lahir dari hati nurani, bukan ambisi semata.
Hanya dengan transparansi, akuntabilitas, dan komitmen bersama, program ini bisa bangkit, menyelamatkan generasi emas Indonesia dari racun yang tak terlihat.