Rujak Hari Ini: Dua Tim Reformasi Polri, Sinergi atau Friksi?

JAKARTA – Reformasi kepolisian kembali mencuri perhatian di tengah dinamika politik Indonesia saat ini. Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk membenahi institusi Polri melalui pembentukan Komite Reformasi Kepolisian dari Istana.
Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal.
Keberadaan dua tim ini memunculkan pertanyaan: apakah langkah ini menunjukkan sinergi atau justru berpotensi memicu friksi birokrasi? Dengan semangat reformasi yang sama, perbedaan pendekatan ini mencerminkan kompleksitas dalam memperbaiki institusi penegak hukum yang kerap menghadapi sorotan publik.
Tuntutan Reformasi yang Mengemuka
Agenda reformasi Polri bukan hal baru, namun kini menjadi semakin krusial di bawah kepemimpinan Prabowo. Dorongan ini mengemuka setelah dialog Presiden dengan Gerakan Nurani Bangsa di Istana Kepresidenan pada 12 September 2025.
Saat itu, Prabowo menyampaikan keinginannya untuk mengevaluasi Polri secara menyeluruh, mencakup organisasi, operasional, dan pelayanan publik.
“Kita semua sangat mencintai institusi Kepolisian, tetapi tentunya ada beberapa hal yang mungkin perlu dilakukan perbaikan, evaluasi dan itu biasa untuk seluruh institusi,” ujar Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 17 September 2025.
Langkah ini merupakan respons atas keresahan masyarakat, terutama setelah kerusuhan di beberapa daerah pada akhir Agustus 2025, yang menyoroti isu profesionalisme dan akuntabilitas polisi.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Prabowo melantik Jenderal (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian. Dofiri, mantan Wakapolri, ditugaskan menyusun kerangka komite yang lebih inklusif.
Namun, Polri tak tinggal diam. Kapolri Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Perintah Nomor Sprin 2749/IX/TUK.2.1./2025 pada 17 September 2025, yang menandai pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri.
“Selama ini kita melakukan upaya transformasi untuk perbaikan. Artinya Polri terbuka terhadap evaluasi masukan dari luar untuk terus melakukan perbaikan bagi institusi dalam kegiatan kita maupun hal yang diharapkan masyarakat,” kata Listyo Sigit di Istana Negara, Jakarta, pada 17 September 2025.
Pendekatan dari Istana
Komite Reformasi Kepolisian yang digagas Istana menawarkan pendekatan strategis dengan melibatkan pihak eksternal. Komite ini rencananya akan diresmikan melalui Keputusan Presiden setelah Prabowo kembali dari Sidang Umum PBB di New York.
Susunan anggota mencakup tokoh lintas sektor, seperti akademisi, budayawan, dan mantan pejabat tinggi. Eks Menko Polhukam Mahfud MD diajak bergabung dan menyatakan kesiapannya.
“Ya nanti kita lihat pada posisi apa, tetapi saya punya beberapa catatan penting kalau mau reformasi Polri sungguh-sungguh,” ungkap Mahfud di Jakarta pada 16 September 2025..
Komite ini diperkirakan beranggotakan sembilan orang, termasuk mantan Kapolri untuk memberikan perspektif historis. Tujuannya adalah merumuskan reformasi yang dituangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kepala Staf Presiden M. Qodari menegaskan kesiapan proses ini.
“Rasa-rasanya sih ini kita tinggal menunggu ya, karena memang beberapa indikasi menunjukkan bahwa ini sudah berjalan,” ujarnya di Istana pada 22 September 2025.
Pendekatan eksternal ini diharapkan mampu mengatasi isu struktural, seperti budaya organisasi dan pengawasan internal, yang masih menjadi tantangan pasca-pemisahan Polri dari TNI.
Langkah Internal yang Taktis
Berbeda dari komite Istana, Tim Transformasi Reformasi Polri bersifat internal dan lebih operasional. Tim ini terdiri dari 52 perwira tinggi dan menengah, dipimpin oleh Kalemdiklat Polri Komjen Chryshnanda Dwilaksana, dengan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo sebagai penasihat dan Kapolri sebagai pelindung.
“Sprin tersebut merupakan tindak lanjut Polri untuk bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholders terkait melalui pendekatan sistematis untuk mengelola transformasi institusi guna mencapai proses dan tujuan akselerasi transformasi Polri sesuai dengan harapan masyarakat,” jelas Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta pada 22 September 2025.
Tim ini fokus pada evaluasi program internal, mulai dari organisasi, operasional, hingga pelayanan publik. Listyo Sigit menegaskan keterbukaan terhadap arahan pemerintah.
“Kita tunggu saja, pasti Polri akan menindaklanjuti apa yang akan menjadi kebijakan,” kata Kapolri pada 17 September 2025.
Pendekatan ini berpijak pada Grand Strategy Polri 2025-2045, yang menekankan transformasi menuju Polri yang lebih modern dan responsif.
Menimbang Dua Pendekatan
Pemerintah menegaskan bahwa kedua tim ini saling melengkapi meski berbeda pendekatan.
“Iya kan semangatnya sebenarnya sama ya, tapi kemudian kan internal kepolisian juga ya perlu kita apresiasi dengan membentuk Tim Reformasi,” ujar Prasetyo Hadi di Jakarta pada 23 September 2025.
Komite Istana bersifat strategis dan melibatkan pihak luar, sementara tim Polri lebih taktis dan internal. Namun, kekhawatiran muncul soal potensi tumpang tindih, terutama karena tim internal dibentuk lebih dulu.
Komisi Pengawas Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyarankan agar tim internal membuka ruang partisipasi masyarakat untuk menjaga transparansi. Sementara itu, beberapa kalangan di DPR mempertanyakan urgensi dua tim ini.
“Kita harus pastikan ini tidak jadi ajang tarik-menarik kepentingan, tapi benar-benar untuk perbaikan Polri,” kata anggota Komisi III DPR Benny K. Harman di Jakarta pada 20 September 2025.
Menuju Polri yang Lebih Baik
Keberadaan dua tim ini bisa menjadi momentum besar jika dikelola dengan baik, namun juga berisiko menciptakan birokrasi ganda. Publik menantikan bagaimana Prabowo akan menyatukan visi ini pasca-kunjungan luar negerinya.
Reformasi Polri bukan sekadar soal struktur, tetapi juga tentang membangun kepercayaan masyarakat yang kerap tergerus oleh kasus pelanggaran. Reformasi ini diharapkan benar-benar membawa institusi Polri ke tingkat yang lebih baik, sebagaimana diungkapkan berbagai pihak terkait.
Pada akhirnya, dua tim ini mencerminkan dinamika antara inisiatif pusat dan otonomi institusi. Reformasi harus menghasilkan Polri yang lebih profesional, transparan, dan dekat dengan rakyat, bukan sekadar wacana.
Di tengah sorotan publik, langkah ini diharapkan menjadi titik awal menuju penegak hukum yang lebih akuntabel dan terpercaya.