JAKARTA – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh, yang sempat menjadi simbol kemajuan infrastruktur Indonesia, kini terperangkap dalam jerat utang raksasa. Total kewajiban mencapai Rp 116 triliun hingga Rp 120 triliun, dengan bunga tahunan sekitar Rp 2 triliun yang harus dibayar ke China Development Bank.

Operasional Whoosh yang sudah berjalan sejak 2023 justru merugi hingga triliunan rupiah per tahun, membuat PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator kesulitan menutup biaya.

Polemik ini semakin panas ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tegas menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung beban tersebut. Namun, pada 3 November 2025, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan pemerintah hadir untuk menyelesaikan masalah ini.

Apakah ini sinyal intervensi negara yang lebih dalam, atau justru risiko baru bagi fiskal nasional?

Lahirnya “Whoosh”

Proyek Whoosh lahir dari visi menghubungkan dua kota besar dengan kecepatan hingga 350 km/jam, mengurangi waktu tempuh dari tiga jam menjadi 40 menit. Investasi awal US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 120 triliun dibiayai 75 persen dari pinjaman China Development Bank dengan bunga tetap 2 persen per tahun selama 40 tahun pertama, sisanya dari ekuitas konsorsium BUMN Indonesia dan mitra China.

Awalnya, Whoosh dirancang sebagai skema business-to-business tanpa beban APBN, tapi realitas operasional menunjukkan sebaliknya. Pendapatan tiket Whoosh mencapai Rp 1,5 triliun per tahun, tapi biaya operasional dan perawatan menyentuh Rp 1 triliun, ditambah cicilan pokok Rp 1,96 triliun setelah restrukturisasi tenor menjadi 60 tahun. Kerugian KCIC ditanggung pemegang saham mayoritas, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang merugi Rp 4,195 triliun sepanjang 2024.

Purbaya Tolak Keras Bayar Utang Pakai APBN

Polemik memuncak ketika Danantara sebagai superholding BUMN mengusulkan APBN ikut menanggung utang, tapi Purbaya menolak keras.

“Kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita lagi,” tegas Purbaya dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor pada 10 Oktober 2025.

Ia menekankan, sejak dividen BUMN dialihkan ke Danantara senilai Rp 80-90 triliun per tahun, tanggung jawab utang sepenuhnya ada di holding tersebut. Purbaya bahkan sempat mengkritik Danantara yang menempatkan dana dividen ke obligasi pemerintah, bukan proyek produktif.

“Saya tadi sempat kritik, kalau Anda taruh obligasi segitu banyak di pemerintah, keahlian Anda apa?” kata Purbaya.

Sikap Purbaya ini memicu respons dari berbagai pihak. Istana melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan pemerintah sedang mencari skema alternatif tanpa APBN.

“Beberapa waktu yang lalu juga sudah dibicarakan untuk mencari skema supaya beban keuangan itu bisa dicarikan jalan keluar,” ujar Prasetyo usai rapat kabinet di kediaman Presiden Prabowo Subianto pada 12 Oktober 2025.

Tak hanya itu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan bertanya-tanya terkait dengan pernyataan Purbaya soal pembayaran utang pakai APBN.

“Whoosh itu masalahnya apa sih? Whoosh itu kan tinggal restructuring aja. Siapa yang minta APBN? Tak ada yang pernah minta APBN.” ujar Luhut.

CEO Danantara Rosan Roeslani merespons dengan komitmen evaluasi komprehensif.

“Kami sedang mengevaluasi penyelesaian Whoosh ini secara keseluruhan, secara komprehensif. Kami juga komunikasi dengan pemerintah China, dengan NDRC-nya, jadi tolong bersabar,” katanya pada 17 Oktober 2025.

Restrukturisasi dengan China sudah disepakati, memperpanjang tenor hingga 60 tahun, tapi beban tahunan tetap tinggi. China sendiri membela proyek ini melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun

“Perlu ditegaskan bahwa, ketika menilai proyek kereta api cepat, selain angka-angka keuangan dan indikator ekonomi, manfaat publik dan imbal hasil komprehensifnya juga harus dipertimbangkan.” kata Guo.

AHY Tegaskan Pemerintah Hadir soal Utang Whoosh

Puncak ketegangan terjadi pada 3 November 2025, ketika AHY bertemu Presiden Prabowo di Istana. Usai pertemuan, AHY menegaskan komitmen pemerintah.

“APBN juga pasti akan menjadi bagian, tetapi untuk seperti secara spesifiknya, nanti akan kami sampaikan pada kesempatan yang lain,” kata AHY.

Pernyataan ini bertentangan langsung dengan sikap Purbaya, meski AHY menambahkan bahwa pembahasan melibatkan rapat koordinasi dengan Kementerian Investasi, Perhubungan, Keuangan, dan Koordinator Perekonomian.

“Kita libatkan semua pihak untuk mencari solusi terbaik dalam restrukturisasi keuangan proyek Whoosh.” kata AHY.

Ia pun juga menekankan urgensi agar utang ini tak menghambat rencana ekstensi ke Surabaya.

“Memang utang yang harus segera diselesaikan ini juga tidak boleh kemudian menghambat rencana besar kita untuk mengembangkan konektivitas berikutnya, tadi Jakarta sampai dengan Surabaya.” ujar AHY.

Pertemuan itu juga melibatkan mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang disebut diminta masukan untuk restrukturisasi. Meski Jonan membantah pembahasan utama soal Whoosh, kehadirannya menambah spekulasi.

Bahkan, Jonan secara terbuka menyatakan kesiapannya untuk menerima tugas dan amanah jabatan dari Presiden Prabowo Subianto, selama dirinya mampu melaksanakannya.

“Kalau sebagai warga negara, kalau diminta untuk bekerja untuk negara ya mestinya siap, kalau mampu. Kalau saya mampu sih, ya (siap). Itu aja sih. Ya tergantung yang ngasih tugas,” ujar Jonan setelah bertemu Prabowo, Senin.

Jonan menegaskan, ia siap menerima tawaran apa pun selama masih dalam kemampuannya. Sebaliknya, ia akan menolak jika tidak sanggup menjalankannya.

“Ya itu saya kira setiap warga negara, ya. Kalau ditugaskan ya, kalau selama saya bisa pasti mau sih. Kalau saya bisa,” katanya.

Pengamat Soroti Mark-Up Whoosh

Polemik ini tak luput dari sorotan pengamat. Hendri Satrio, pakar komunikasi politik, melihat Whoosh sebagai salah satu “hantu” yang membayangi pemerintahan Prabowo, selain isu ijazah Gibran dan kasus hukum lainnya.

Dalam monolognya di YouTube Hendri Satrio Official pada 28 Oktober 2025, Hensa menyoroti dugaan mark-up hingga 40-50 persen yang membuat biaya proyek membengkak.

“Saya duga proyek Kereta Whoosh kemahalannya luar biasa, sekitar 40-50 persen. Harus diaudit,” katanya.

Untuk itu, ia menekankan perlunya transparansi dan penegakan hukum. Hensa juga berharap polemik Whoosh segera diselesaikan.

“Menurut saya harus diselesaikan ya. Ini polemik Whoosh ini bisa larinya ke mana-mana termasuk akhirnya ke Danantara. Akhirnya polemik yang berkepanjangan ini membuat masyarakat bingung juga dan akhirnya kembali berpolemik tentang siapa kemudian yang me-mark up luar biasa besar. Apakah ini ada peran Pak Jokowi Presiden ketujuh atau hanya perannya Pak Luhut. Kalau memang ada yang salah, ya sudah tunjuk hidung yang bersalah dan dihukum.” ujarnya.

Mengikuti pandangan Hensa, pengamat politik Ubedillah Badrun menilai keputusan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menolak penggunaan APBN untuk menalangi utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) bukan sekadar soal angka, melainkan sinyal kuat terkait tata kelola yang bermasalah.

“Karena awalnya kan B2B (business to business), kenapa tiba-tiba muncul Perpres (Nomor 93 Tahun 2021) boleh ditanggung APBN, padahal kan perjanjian awalnya tidak begitu,” tegas Ubedilah dalam sebuah podcast, Senin (3/11/2025).

Ubedilah menekankan, jika utang PT KAI maupun proyek KCJB ditutup melalui APBN, konsekuensinya bisa menjadi beban serius bagi keuangan negara. Menurutnya, sikap Purbaya tidak hanya soal menolak pembiayaan dari APBN, tetapi juga membuka tabir persoalan tata kelola yang selama ini tidak transparan.

“Sebetulnya Pak Purbaya tidak hanya ingin mengatakan pembiayaan utang dari Whoosh enggak boleh dari APBN, tetapi Pak Purbaya mau mengatakan bahwa ini ada persoalan tata kelola yang tidak beres yang harus dibongkar,” ujarnya.

Risiko dan Harapan

Apakah sudah saatnya pemerintah turun tangan penuh? Pernyataan AHY pada 3 November 2025 menandakan pergeseran, dengan APBN berpotensi jadi bagian restrukturisasi. Namun, ini bertabrakan dengan prinsip Purbaya yang ingin menjaga APBN untuk prioritas lain seperti kenaikan gaji ASN 2026.

Risikonya jelas: jika APBN terlibat, defisit anggaran bisa membengkak, apalagi utang negara sudah Rp 9.138 triliun. Di sisi lain, membiarkan Whoosh mangkrak berarti rugi investasi dan hilang kepercayaan investor asing.

Presiden Prabowo telah memerintahkan tim lintas kementerian, termasuk Airlangga Hartarto dan Rosan, untuk cari skema. Opsi seperti penambahan ekuitas KAI atau pengalihan prasarana ke pemerintah sedang dikaji. China siap bantu, tapi menuntut komitmen jelas. Di tengah itu, publik menuntut audit total. Tapi warisan ini harus diselesaikan sekarang, agar Whoosh tak jadi monumen kegagalan, melainkan pintu gerbang konektivitas Jawa yang lebih luas.

Polemik ini mengingatkan bahwa infrastruktur megah tak boleh lahir dari utang buta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *