Royalti Musik: Antara Apresiasi dan Ketidaktahuan Publik

JAKARTA – Dinamika hak cipta dan royalti musik kian krusial dalam kancah hiburan Indonesia. Di tengah riuhnya perdebatan mengenai keadilan royalti antara pencipta lagu dan penyanyi, sebuah ironi mencuat: minimnya pemahaman publik terhadap seluk-beluk sistem royalti musik di negeri ini.
Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada Maret–April 2025 mengungkap fakta menarik. Dari 1.065 responden, hanya 67,7% yang benar-benar memahami konsep royalti sebelum mendapatkan penjelasan.
Menariknya, setelah diberikan pemahaman tambahan, persentase itu melonjak menjadi 90,7%. Temuan ini mengindikasikan bahwa akar permasalahan terletak pada kurangnya edukasi publik, yang menjadi penghalang utama dalam mewujudkan ekosistem musik yang sehat dan adil.
Kurangnya Edukasi
Selain keterbatasan pemahaman, 29,5% responden berpendapat bahwa minimnya sosialisasi dan edukasi tentang royalti memperparah persoalan distribusi royalti di Indonesia. Kondisi ini memicu serangkaian konsekuensi negatif:
- Miskonsepsi bahwa hanya penyanyi yang berhak mendapatkan royalti atas karya musik.
- Apatisme terhadap kewajiban membayar royalti saat menggunakan musik secara komersial.
- Ketergantungan pada lembaga kolektif tanpa pemahaman hak dan kewajiban para pencipta dan pengguna lagu.
Dalam konteks ini, royalti bukan hanya soal pembayaran, melainkan wujud apresiasi karya intelektual yang lahir dari kreativitas dan kerja keras.
Ketimpangan Pengetahuan dan Sikap Publik
Survei juga mengungkapkan fenomena paradoks: di satu sisi, 91% responden mendukung hak pencipta untuk menerima royalti atas karya mereka. Namun, di sisi lain, masih banyak yang kurang memahami kapan royalti wajib dibayarkan, misalnya saat lagu diputar di media sosial, transportasi umum, atau restoran.
Tanpa edukasi yang memadai, ketimpangan antara dukungan moral dan praktik nyata dalam pembayaran royalti akan terus terjadi. Hal ini juga terkait erat dengan masalah transparansi lembaga pengelola royalti, dimana 33,9% responden mengeluhkan bahwa sistem pelaporan yang lemah menjadi penghalang dalam distribusi royalti yang adil.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengatasi permasalahan kompleks ini, diperlukan pendekatan edukasi hak cipta yang komprehensif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan:
- Pendidikan hak cipta di sekolah
Menjadikan hak cipta bagian dari kurikulum seni dan budaya di sekolah.
- Sosialisasi melalui media sosial
Menggunakan platform digital seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda.
- Transparansi lembaga pengelola royalti
Menampilkan data yang jelas mengenai distribusi royalti dan bagaimana uang tersebut sampai kepada pencipta lagu.
- Pelatihan bagi pelaku industri musik
Baik pencipta lagu, penyanyi, dan penyelenggara acara, agar mereka lebih memahami mekanisme royalti yang berlaku
Royalti adalah bentuk penghargaan mendasar terhadap karya kreatif. Tanpa pemahaman yang kuat di level publik, upaya menciptakan industri musik yang adil hanya akan menjadi retotika hampa.
Ketidaktahuan publik membuka celah bagi praktik penggunaan musik tanpa izin atau tanpa pembayaran royalti, yang marak terjadi baik di ruang privat seperti media sosial, maupun di ruang komersial seperti restoran, kafe, dan acara konser.
Survei juga mencatat bahwa 29,5% responden mengidentifikasi minimnya sosialisasi tentang royalti sebagai masalah krusial dalam ekosistem musik. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh kurangnya transparansi lembaga pengelola royalti, yang menurut 44% responden menjadi hambatan serius dalam menyalurkan hak para pencipta dan performer.
Edukasi Publik perlu Segera Dilakukan
Meski tantangan yang dihadapi tidaklah kecil, ada kabar baik dari temuan bahwa mayoritas masyarakat sesungguhnya menunjukkan keberpihakan moral yang kuat. Sebanyak 91% mendukung hak pencipta mendapatkan royalti setiap kali lagunya digunakan, dan 80,1% bahkan bersedia membayar lebih di kafe atau konser asalkan royalti disalurkan dengan adil. Ada kesadaran potensial yang bisa dioptimalkan.
Oleh karena itu, pendidikan publik tentang hak cipta tidak bisa lagi ditunda. Edukasi ini bisa dimulai dari kurikulum sekolah, diperluas lewat kampanye sosial kreatif di media digital, dan didukung oleh transparansi lembaga-lembaga royalti. Industri musik juga harus lebih aktif dalam membangun ekosistem edukasi, bukan hanya sibuk mengadvokasi hak-hak mereka sendiri di tingkat hukum.
Jika kita ingin melihat industri musik Indonesia berkembang dengan sehat, maka membangun kesadaran publik soal hak cipta harus menjadi prioritas utama.
Sebab di tengah era digital yang serba cepat ini, karya kreatif tanpa perlindungan berarti membiarkan pencipta musik hanya menikmati ketenaran, tanpa mendapatkan penghargaan ekonomi yang layak.
(Penulis: Fabiola Puspa, Researcher Lembaga Survei KedaiKOPI)