Respons Fraksi di DPR Soal Desakan Pemakzulan Wapres Gibran Dari Forum Purnawirawan TNI

JAKARTA – Sejumlah fraksi di DPR RI menanggapi desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan Forum Purnawirawan TNI melalui surat kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI.
Isu ini mencuat setelah surat bertanggal 26 Mei 2025 tersebut menyoroti sejumlah alasan, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap cacat hukum. Sekretaris Fraksi Partai Nasdem DPR, Ahmad Sahroni, menyebut proses pemakzulan tidaklah sederhana.
“Saya rasa itu akan panjang sekali prosesnya, dan enggak semudah yang kita bayangkan,” ujar Sahroni.
Ia menambahkan bahwa setiap pihak berhak mengirimkan surat tuntutan, namun Setjen DPR akan memilah surat mana yang diprioritaskan.
“Kalau surat kan boleh-boleh dikirim dari pihak mana pun. Tapi, surat mana saja yang akan diprioritaskan itu menjadi bagian administrasi Kesetjenan DPR RI,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, Muhammad Sarmuji, menilai Gibran tidak melakukan pelanggaran yang dapat menjadi dasar pemakzulan.
“Wapres Gibran tidak melakukan hal yang bisa menjadi alasan pemakzulan,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi.
Meski begitu, ia menyatakan Fraksi Golkar akan mempelajari surat tersebut.
“Namanya surat berisi aspirasi tentu kita terima. Untuk tindak lanjut, kita pelajari apakah berkesesuaian dengan amanat konstitusi dan perundangan yang berlaku,” ucapnya.
Anggota DPR dari Fraksi PKB, Daniel Johan, menyatakan bahwa setiap surat yang masuk akan dibahas oleh komisi dan fraksi terkait. Namun, ia mengaku belum mengetahui detail isi surat tersebut.
“Tentu setiap surat masukan akan dibahas oleh komisi terkait dan fraksi nantinya,” kata Daniel singkat.
Di sisi lain, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, menjelaskan bahwa MPR akan menggelar rapat pimpinan (rapim) untuk membahas surat yang dianggap penting.
“Begini, kalau ada surat resmi masuk, ya pimpinan MPR itu kan masuknya ke sekretariat. Di sekretariat itu, kalau itu dianggap penting, baru kita lakukan rapim,” ujar Pacul saat ditemui di Kompleks Parlemen.
Namun, ia menegaskan belum ada jadwal rapim terkait surat ini, dan keputusan agenda rapat menjadi wewenang Ketua MPR Ahmad Muzani.
“Nah, ini rapimnya belum ada. Nanti yang bisa mengatur rapim sesuai dengan tatib, itu adalah siapa yang memimpin rapat. Yang menetapkan agenda rapat dan memimpin rapat itu diserahkan kepada tatibnya Ketua MPR yang menentukan. Jadi, dikau tanyanya ke Pak Muzani,” kata dia.
Surat dari Forum Purnawirawan TNI, yang ditandatangani empat purnawirawan jenderal, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, menyoroti putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut dianggap cacat hukum karena melibatkan Anwar Usman, paman Gibran, yang dinilai memiliki konflik kepentingan.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” demikian bunyi isi surat tersebut.
Selain itu, Forum Purnawirawan TNI menyebut Gibran tidak memenuhi kepatutan dan etika sebagai wapres karena pengalaman minim serta kontroversi akun media sosial “fufufafa” yang diduga terkait dengannya.
“Dari kasus tersebut, tersirat moral dan etika Sdr. Gibran sangat tidak pantas dan tidak patut untuk menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia,” seperti dikutip dari isi surat tersebut.
Sekjen DPR RI Indra Iskandar membenarkan bahwa surat tersebut telah diterima dan diteruskan ke pimpinan DPR.
“Iya benar, kami sudah terima surat tersebut, dan sekarang sudah kami teruskan ke pimpinan,” ujar Indra, Selasa (3/6/2025).
Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan belum membaca surat tersebut karena masih berada di tangan Indra.
Pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, menilai desakan pemakzulan ini belum memiliki dasar hukum yang kuat.
“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” tutur dia, dikutip dari situs resmi UGM.
Prosedur pemakzulan diatur dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa MPR dapat memberhentikan presiden atau wakil presiden atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau perbuatan tercela.
Proses ini melibatkan pemeriksaan oleh MK dan sidang paripurna MPR yang dihadiri setidaknya 3/4 anggota serta disetujui 2/3 anggota yang hadir. Meski prosedurnya jelas, faktor politik tetap menjadi penentu utama keberhasilan pemakzulan.