JAKARTA – Utang jumbo proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) menjadi salah satu beban berat yang terus membayangi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terutama karena berpotensi mengganggu kinerja Danantara sebagai lembaga pengelola investasi negara yang diandalkan untuk memperkuat perekonomian nasional.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio, dalam podcast di kanal YouTube Hendri Satrio Official menyebut utang Whoosh sebagai salah satu “hantu” yang harus segera diselesaikan.
“Ini ada desakan-desakan nih, teman-teman, dari media sosial. Saya mesti ngomong kayak gini,” ujar Hensa.
Proyek ini bermula sebagai proyek strategis nasional (PSN) di era Presiden Joko Widodo, ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016. Pendanaan mayoritas berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), dengan Jokowi sendiri yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016 dan meresmikan operasionalnya pada 2 Oktober 2023.
Namun, hingga pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh masih jauh dari target. Pada hari kerja, kereta cepat ini hanya mengangkut 16.000 hingga 18.000 penumpang per hari, sedangkan pada akhir pekan angkanya naik menjadi 18.000 hingga 22.000 orang. Angka tersebut belum mampu menyentuh target awal sebanyak 31.000 penumpang per hari.
Lebih memprihatinkan, biaya proyek mengalami pembengkakan signifikan (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp19,54 triliun dari rencana awal 6,07 miliar dollar AS. Akibatnya, total investasi membengkak menjadi 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Dari jumlah tersebut, 75 persen dibiayai melalui pinjaman CDB, sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). KCIC sendiri dimiliki oleh konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan porsi 60 persen dan Beijing Yawan HSR Co Ltd sebesar 40 persen. PSBI merupakan konsorsium BUMN yang dipimpin PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Akibatnya, tekanan keuangan langsung dirasakan PT KAI (Persero). PSBI mencatatkan kerugian sebesar Rp1,625 triliun pada semester I-2025, dengan PT KAI menanggung porsi terbesar yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025. Beban ini mencakup biaya operasional kereta cepat sekaligus kewajiban pengembalian utang.
Terbaru, Kementerian Keuangan menolak untuk membayar utang Whoosh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Akibatnya, Danantara; badan pengelola investasi yang kini membawahi BUMN, dipaksa mencari solusi untuk menangani utang jumbo tersebut.
“Akhirnya polemik yang berkepanjangan ini membuat masyarakat bingung juga dan akhirnya kembali berpolemik tentang siapa kemudian yang me-mark up luar biasa besar. Apakah ini ada peran Pak Jokowi Presiden ketujuh atau hanya perannya Pak Luhut,” kata Hensa.
Hensa menegaskan, siapa pun yang bertanggung jawab atas pembengkakan biaya harus diidentifikasi dan diproses secara hukum agar polemik tidak terus berlarut-larut.
“Menurut saya harus diselesaikan ya. Ini polemik Whoosh ini bisa larinya ke mana-mana termasuk akhirnya ke Danantara. Sebuah lembaga yang diimpi-impikan Pak Prabowo yang akan membantu perekonomian Indonesia.”
“Polemik berkepanjangan ini harus diselesaikan. Kalau memang ada yang salah, ya sudah tunjuk hidung yang bersalah dan dihukum,” pungkasnya.