Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja Tolak Data BPS Soal Kemiskinan Menurun

JAKARTA – Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB), yang terdiri dari empat konfederasi serikat pekerja, 63 federasi serikat pekerja nasional, sembilan organisasi kerakyatan, dan Partai Buruh di 38 provinsi, menolak data kemiskinan 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Mereka menilai metodologi pengukuran kemiskinan BPS sudah usang, tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan bertentangan dengan standar internasional.
“Pernyataan BPS yang menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia pada Juni 2025 menurun dibandingkan tahun sebelumnya adalah bias, tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, dan lebih banyak bersifat politis,” tulis KSP-PB dalam siaran persnya, Selasa (29/7/2025).
Pertanyakan metodologi BPS
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, memaparkan analisis Litbang KSP-PB. Pertama, BPS masih menggunakan metodologi untuk negara berpenghasilan rendah, padahal Indonesia telah dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah atas oleh lembaga internasional.
BPS menetapkan batas kemiskinan pada pendapatan USD 2,5 PPP per hari, menghasilkan angka kemiskinan 8,57% atau sekitar 24 juta orang. Namun, jika menggunakan standar internasional dengan batas USD 5 PPP per hari (sekitar Rp756.000 per bulan), jumlah orang miskin mencapai 68 juta. Bank Dunia bahkan menyebut dengan pendapatan USD 6,5 PPP per hari (sekitar Rp1,2 juta per bulan), angka kemiskinan mencapai 68% atau sekitar 190 juta orang.
“Data BPS yang bias ini menunjukkan orang kaya di Indonesia makin kaya, dan orang miskin makin miskin,” ujar Said Iqbal.
Lonjakan PHK kontradiktif dengan data BPS
Kedua, Litbang KSP-PB mencatat sekitar 70 ribu buruh di-PHK pada Januari–April 2025. Data BPS juga menunjukkan kenaikan PHK sebesar 32% pada Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Anehnya BPS melansir angka kemiskinan menurun,” kata Said Iqbal, menyoroti kontradiksi tersebut.
PHK terjadi di PT MKM Tegal (600-an orang) dan sejumlah perusahaan tekstil garmen di Jawa akibat dampak tarif Trump. Ratusan pegawai toko di mal besar juga di-PHK karena daya beli masyarakat menurun, dikenal sebagai fenomena “Rojali” dan “Rohana”.
Apindo melaporkan 50% perusahaan yang disurvei sedang atau telah melakukan PHK.
“Data BPS keliru dan mengandung unsur politik serta tidak menjelaskan kondisi buruh yang sebenarnya,” kritik KSP-PB.
Rencana aksi besar-besaran
Menanggapi situasi ini, KSP-PB berencana menggelar aksi besar serentak di 38 provinsi pada 15–25 Agustus 2025, melibatkan 75 ribu buruh di kota seperti Bandung, Serang, Surabaya, Semarang, Jogja, Denpasar, Gorontalo, Banjarmasin, Medan, dan Bandar Lampung.
“Kami akan menyuarakan aspirasi buruh yang terdampak PHK dan ketidakadilan ekonomi,” tegas Said Iqbal.
Aksi ini mengusung enam agenda: menolak transfer data pribadi ke Amerika Serikat, membentuk Satgas PHK untuk mengantisipasi dampak tarif Trump, menghapus outsourcing, mengesahkan RUU Ketenagakerjaan sesuai Putusan MK Nomor 168/2024, mengesahkan RUU Pemilu terkait pemisahan Pemilu nasional dan daerah sesuai Putusan MK 135/2025, serta menerapkan pajak berkeadilan.
“PTKP harus dinaikkan menjadi Rp7,5 juta per bulan, hapus diskriminasi pajak PPh 21 bagi buruh perempuan yang berkeluarga, dan tolak pajak atas pesangon, JHT, THR, serta dana pensiun,” tutup Said Iqbal.