
Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Megawati Soekarnoputri, dikenang sebagai salah satu tokoh ekonomi Indonesia yang berani dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan.
Salah satu bentuk keberaniannya yang paling mencolok adalah keputusannya untuk tetap menggunakan nama Tionghoa aslinya di masa Orde Baru, ketika tekanan asimilasi begitu kuat dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih merajalela. Di saat banyak warga keturunan Tionghoa memilih mengubah nama mereka demi alasan keamanan, Kwik memilih tetap dengan identitasnya. Langkah ini bukan hanya bentuk keteguhan pribadi, tetapi juga simbol nasionalisme sejati di tengah sistem yang mengekang keberagaman.
Kwik Kian Gie menempuh pendidikan ekonomi di Nederlandsch Economische Hogeschool, yang kini dikenal sebagai Erasmus University Rotterdam, Belanda. Latar belakang akademisnya di Eropa memperkaya pemahamannya terhadap berbagai pendekatan ekonomi. Ia dikenal luas sebagai ekonom dengan orientasi kerakyatan yang kerap bersikap kritis terhadap pendekatan neoliberalisme dan ekonomi pasar bebas. Ketika kembali ke Indonesia, Kwik aktif dalam dunia akademik dan kebijakan publik, dan mengembangkan narasi ekonomi yang berfokus pada keadilan sosial, pengurangan ketimpangan, serta peran negara dalam menyejahterakan rakyat.
Saat menjabat sebagai Menko Ekuin di era Presiden Megawati, Kwik menjadi salah satu tokoh yang paling menonjol dalam mendorong ekonomi berbasis kerakyatan. Namun, pandangan ekonominya yang cenderung sosialis membuatnya berseberangan dengan arus utama kebijakan ekonomi kala itu, yang lebih dipengaruhi oleh kelompok ekonom liberal yang dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley”. Perbedaan ideologi ini menjadi salah satu alasan ia tidak dilibatkan lebih lanjut dalam pengambilan keputusan strategis ekonomi nasional dan akhirnya tersingkir dari lingkaran kekuasaan.
Meski tak lagi menjabat di pemerintahan, Kwik tetap menjadi suara kritis terhadap arah pembangunan nasional, khususnya dalam isu utang luar negeri, ketergantungan pada investasi asing, dan distribusi kekayaan nasional. Ia kerap menulis dan berbicara di berbagai forum publik, menyampaikan keprihatinannya terhadap pertumbuhan ekonomi yang tidak merata serta kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite. Pandangannya ini menjadikannya panutan bagi banyak akademisi dan aktivis muda yang gelisah melihat ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus berlangsung.
Keteguhan Kwik mempertahankan nama Tionghoanya tidak hanya menjadi simbol keberanian pribadi, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas. Ia menunjukkan bahwa menjadi nasionalis tidak harus mengorbankan identitas etnis, dan bahwa keberagaman adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Keputusannya untuk tidak mengganti nama adalah bentuk penegasan bahwa warga keturunan Tionghoa adalah bagian sah dan setara dari masyarakat Indonesia.
Dalam berbagai wawancara, Kwik sering menyampaikan bahwa nasionalisme sejati tidak diukur dari nama atau suku, melainkan dari kontribusi nyata bagi bangsa. Ia membuktikan hal itu lewat kerja-kerja intelektual dan kebijakan yang memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Semangat ini menjadi benang merah dalam seluruh perjalanan hidup dan kariernya.
Kwik juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Bukunya “Analisis Ekonomi Politik Indonesia” menjadi referensi penting dalam memahami dinamika ekonomi Indonesia dari perspektif kritis. Gagasannya memperkuat posisi ekonomi kerakyatan sebagai alternatif terhadap model ekonomi yang terlalu bergantung pada mekanisme pasar.
Di mata para kolega dan pengamat, Kwik adalah contoh langka dari teknokrat yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga teguh secara moral dan ideologis. Ia bukan tipe ekonom yang hanya mengikuti arus kebijakan global, melainkan berani berpikir berbeda, bahkan jika itu membuatnya tidak populer di kalangan elite.
Hingga akhir hayatnya, Kwik tetap menjadi tokoh yang dihormati dan didengarkan. Warisan pemikirannya menjadi inspirasi penting dalam memperjuangkan ekonomi yang lebih adil dan inklusif. Ia bukan hanya ekonom, melainkan negarawan yang dengan jujur memperjuangkan rakyat melalui intelektualitas dan keberanian bersikap.
Dengan wafatnya Kwik Kian Gie, Indonesia kehilangan salah satu sosok intelektual yang punya keberanian moral dan konsistensi pemikiran. Namun semangatnya akan terus hidup dalam diskursus publik dan perjuangan mereka yang percaya bahwa ekonomi harus berpihak pada manusia, bukan sekadar angka dan pertumbuhan semu.