Mahfud MD: Wamen Rangkap Komisaris Berpotensi Korupsi

JAKARTA – Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menegaskan bahwa wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan sebagai komisaris melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan berisiko memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Dalam wawancara di kanal YouTube Hendri Satrio Official, Mahfud mengkritik pemerintah yang tampak mengabaikan putusan MK tersebut, meskipun bersifat final dan mengikat. Ia menjelaskan bahwa MK melarang wamen menjabat komisaris karena statusnya sebagai jabatan politik, bukan karier.
“Gini, MK sudah memberi putusan dengan jelas bahwa apa yang dilarang bagi menteri dilarang juga bagi wamen. Kan itu bunyi putusan,” ujarnya.
Ia menyoroti konflik kepentingan, terutama ketika pejabat dari Kejaksaan Agung atau KPK merangkap jabatan di BUMN lewat Danantara, yang seharusnya diawasi secara independen.
“Memperkaya diri sendiri, tahu bahwa itu dilarang, tapi tetap mengambil gaji di situ. Yang mengangkat juga memperkaya orang lain, merugikan keuangan negara,” tegas Mahfud.
Hendri Satrio lalu bertanya soal kemungkinan para wamen terkena korupsi akibat merangkap jabatan sebagai komisaris.
“Coba coba coba. Jadi wamen yang merangkap komisaris itu ada unsur korupsinya?,” tanya Hensa.
Mahfud menjelaskan bahwa merangkap jabatan itu sama dengan memperkaya diri sendiri. Bahkan, merujuk pada pasal 55 KUHP, ia mengatakan yang memberikan jabatan pun bisa terseret dalam pusaran korupsi tersebut.
“Kalau di dalam hukum pidana ada tindak pidana bersama-sama. Pasal 55 ya, secara bersama-sama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.. Tapi kan lalu alasan konyolnya itu sering ‘Pak itu kan hanya ada di pendapat mahkamah bukan di amar?’ Sebenarnya pendapat mahkamah itu ya itulah sebenarnya hukum karena itu yang disebut memori van toechlichting namanya.” jelas Mahfud.
Hensa kemudian menyinggung apakah putusan MK ini akan dijalankan atau tidak terkait dengan wamen merangkap komisaris tersebut.
“Kalau keputusan MK yang melarang wamen jadi komisaris akan dilaksanakan atau tidak, Prof?” tanya Hensa.
“Kalau melihat gelagat politiknya kayaknya mau diabaikan. Tapi itu akan menjadi bom waktu menurut saya.” jawab Mahfud.
Ia memperingatkan bahwa sikap abai ini dapat menormalisasi ketidaktaatan hukum. Sebab, menurut Mahfud, membiarkan pelanggaran ini berlanjut dapat merusak tatanan konstitusional dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan serta membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan yang lebih luas di masa depan.
“Tapi kan hukum tuh lagi-lagi produk politik. Kalau pemerintahnya masih (abai) seperti itu ya akan seperti itu. Tapi kalau pemerintah mau baik-baik, ya yang kemarin sudah terlanjur sekarang sudah putusan MK mari kita hentikan (pengangkatan wamen jadi komisaris),” kata Mahfud.
Mahfud pun mengingatkan akan resiko politik ke depannya jika praktik pengangkatan wamen menjadi komisaris ini masih berlangsung. Ia melihat potensi penyalahgunaan jabatan untuk akomodasi politik.
“Nanti bahaya loh kalau yang akan datang wamennya tambah menjadi 200 atau dapat semua dikasih jabatan,” katanya.
Mahfud menekankan bahwa pemerintah harus mencari solusi alternatif tanpa melanggar putusan MK. Ia mencontohkan pengalamannya berdiskusi dengan KPK, yang sempat merencanakan aturan teknis untuk menjerat pelaku rangkap jabatan, meski terhambat dinamika politik, agar tata kelola pemerintahan tetap bersih.
“Kalau pemerintah mau baik-baik ya yang kemarin sudah terlanjur sekarang sudah putusan MK mari kita hentikan. Kalau perlu dikasih uang lain carikan saja tapi jangan ngerangkap-rangkap gitu. Harusnya pemerintah sendiri. Udahlah ini kan putusan MK mumpung ada momentum kita kalau dihentikan gak ada putusan MK kan malu,” tutup Mahfud.