
Jumlah pengangguran di Indonesia pada 2025 tercatat mencapai 7,28 juta orang, dengan lebih dari satu juta di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi. Data ini kembali menyoroti tantangan serius dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia, khususnya bagi para sarjana yang diharapkan menjadi penggerak sektor formal.
Secara rinci, jumlah penganggur dari lulusan S1 mencapai lebih dari satu juta orang. Sementara itu, penganggur lulusan diploma tercatat sekitar 177 ribu orang, lulusan SMK mencapai 1,63 juta orang, SMA 2,04 juta orang, dan lulusan SD/SMP bahkan lebih tinggi lagi, menyentuh angka 2,42 juta orang.
Jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang pada 2025, termasuk lebih dari satu juta lulusan perguruan tinggi (sarjana) yang belum mendapatkan pekerjaan. Data ini dipaparkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dalam seminar pertengahan tahun Indef di Jakarta.
Secara rinci, terdapat 1.010.652 penganggur yang merupakan alumni S1. Di sisi lain, lulusan diploma bebas pengangguran mencapai 177.399, SMK sebanyak 1,63 juta, SMA 2,04 juta, dan lulusan SD/SMP bahkan mencapai 2,42 juta orang.
Menurut Yassierli, tantangan pengangguran ini harus ditangani dari dua sisi: supply (penyedia tenaga kerja) dan demand (kebutuhan lapangan kerja). Pemerintah saat ini tengah mendorong kerja sama lintas sektor untuk membuka lapangan kerja baru, salah satunya melalui program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang berpotensi menyerap jutaan pekerja.
Wakil Menaker Immanuel Ebenezer menyoroti ketidaksesuaian antara keterampilan sarjana dengan kebutuhan industri saat ini. Banyak lulusan menolak tawaran pekerjaan karena gaji yang ditawarkan sama dengan level SMA, atau lokasinya jauh dan minim fasilitas
World Bank Documents.
Lebih lanjut, ekonom dari Indef, Tauhid Ahmad, menyampaikan bahwa pandemi mempercepat transformasi digital dan menghilangkan banyak pekerjaan formal. Digitalisasi banyak sektor, termasuk keuangan, mengurangi permintaan tenaga sarjana di industri tradisional seperti perbankan .
Pengamat pendidikan dari UPI, Cecep Darmawan, menambahkan bahwa jurusan dan kurikulum perguruan tinggi belum bisa mengikuti tren pasar. Banyak jurusan yang dibuka tanpa riset kebutuhan industri, sehingga lulusan tak siap kerja.
Anggota DPR Nurhadi menganggap kondisi ini sebagai kegagalan sistemik. Dengan anggaran pendidikan tinggi senilai Rp 76,4 triliun, idealnya lulusan sarjana segera terserap ke dunia kerja, bukan justru menjelma menjadi penganggur.
Dari sisi data historis, menurut Bank Dunia, angka pengangguran sarjana sempat menurun pasca-pandemi namun kembali naik sejak 2023. Fenomena global seperti disrupsi teknologi dan menurunnya permintaan akibat inflasi turut memperparah kondisi .
Dalam dialog publik, beberapa sarjana terpaksa bekerja di sektor informal, seperti petugas PPSU, karena peluang di sektor formal sangat terbatas. Hal serupa juga terjadi di negara lain seperti China, di mana lulusan universitas bekerja sebagai kurir atau menjadi “perawat lansia” karena pasar kerja akademis penuh sesak.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah didorong untuk melakukan reformasi sistem pendidikan—terutama meningkatkan link-and-match antara perguruan tinggi dan industri—serta memperluas program vokasi dan pelatihan ulang (reskilling). Selain itu, penciptaan lapangan kerja berkualitas, termasuk di daerah, juga menjadi prioritas.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan juga menyoroti adanya ketidaksesuaian keterampilan antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Tidak sedikit sarjana yang akhirnya menolak tawaran kerja karena gaji yang tidak sesuai dengan ekspektasi, atau lokasi kerja yang jauh dan minim fasilitas pendukung.
Ekonom menilai pandemi yang mendorong percepatan transformasi digital telah memangkas sejumlah pekerjaan formal, terutama di sektor-sektor yang dulunya padat karya. Digitalisasi di bidang keuangan, jasa, dan perdagangan menggeser banyak posisi yang dulunya bisa diisi oleh tenaga kerja bergelar sarjana.
Pengamat pendidikan turut menyoroti sistem perguruan tinggi yang dianggap belum mampu menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan pasar kerja. Banyak jurusan dibuka tanpa kajian mendalam, sehingga para lulusan tidak siap menghadapi kebutuhan industri yang terus berubah.
Di sisi lain, kalangan DPR menyebut kondisi ini sebagai bentuk kegagalan sistemik. Anggaran pendidikan tinggi yang besar seharusnya berbanding lurus dengan tingkat penyerapan lulusan di dunia kerja, bukan justru memunculkan angka pengangguran yang tinggi di tingkat sarjana.
Data historis menunjukkan, angka pengangguran sarjana memang sempat menurun pasca-pandemi, tetapi kembali meningkat dalam dua tahun terakhir. Disrupsi teknologi, gejolak ekonomi global, dan inflasi yang menekan permintaan tenaga kerja turut memperburuk kondisi.
Tak sedikit sarjana akhirnya terpaksa bekerja di sektor informal. Fenomena ini juga terjadi di negara lain seperti China, di mana banyak lulusan perguruan tinggi harus bekerja di lapangan kerja non-akademis, seperti kurir logistik atau perawat lansia, karena pasar kerja formal penuh sesak.
Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah didorong untuk memperkuat link and match antara dunia pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri. Selain itu, perluasan program vokasi, reskilling, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas, khususnya di daerah, menjadi kunci untuk menekan angka pengangguran lulusan sarjana.