Korban Meninggal Ponpes Al Khoziny Capai 53 Jiwa, 13 Santri Masih Hilang
Duka mendalam menyelimuti Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, seiring terus bertambahnya jumlah korban akibat ambruknya bangunan musala berlantai empat. Hingga Senin (6/10/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan pembaruan data, mencatat total santri yang meninggal dunia telah mencapai 53 orang. Peristiwa tragis ini disebut BNPB sebagai bencana dengan korban jiwa terbesar di Indonesia sepanjang tahun ini.
Operasi pencarian dan penyelamatan oleh tim SAR gabungan—yang terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, dan relawan—masih terus berlangsung intensif. Menurut data terakhir dari total 167 korban terdampak, masih ada 13 korban lainnya yang belum ditemukan dan diperkirakan masih terperangkap di bawah reruntuhan puing bangunan. Mayor Jenderal Budi Irawan, Deputi 3 Tanggap Darurat BNPB, menyatakan bahwa tim bekerja tanpa henti untuk mengevakuasi sisa korban.
“Telah ditemukan 7 jenazah lagi. Sehingga diperkirakan 13 korban yang kita cari di lokasi runtuhnya musala di pondok pesantren di Sidoarjo ini,” kata Budi Irawan dalam konferensi pers, seraya menambahkan bahwa total korban selamat yang berhasil dievakuasi mencapai 104 orang. Ia juga mengungkapkan harapan agar pencarian 13 korban yang tersisa dapat segera tuntas pada hari yang sama.
Kendala terbesar yang dihadapi tim di lapangan adalah evakuasi material bangunan yang sangat masif, terutama karena adanya beton yang teridentifikasi terhubung dengan struktur gedung lain di sebelahnya. Untuk mengatasi tantangan struktural ini, BNPB telah melibatkan tim ahli forensik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Keterlibatan pakar ini penting demi memastikan proses pembersihan puing berjalan aman dan tidak merusak bangunan yang masih berdiri di sekitarnya.
Sementara proses evakuasi terus berjalan, tahapan identifikasi korban juga menjadi fokus utama. Sejumlah jenazah, termasuk potongan tubuh (body part) yang berhasil ditemukan, segera dibawa ke RS Bhayangkara Surabaya untuk dilakukan pemeriksaan DNA. Kepala Kantor Basarnas Surabaya, Nanang Sigit, menegaskan bahwa identifikasi DNA menjadi prosedur krusial untuk memberikan kepastian kepada keluarga korban yang masih menunggu kabar.
Tragedi ini memicu pertanyaan serius mengenai standar keamanan bangunan fasilitas pendidikan di Indonesia. Analisis awal dari tim SAR gabungan mengindikasikan bahwa penyebab utama keruntuhan adalah kegagalan konstruksi yang diperparah oleh dugaan ketidakmampuan menahan beban sesuai kapasitas. Pemerintah pusat telah merespons dengan memerintahkan audit terhadap struktur bangunan pesantren di seluruh Indonesia guna mencegah insiden serupa terulang di masa depan.
Di tengah kesedihan yang mendalam, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memastikan bahwa seluruh prosedur penanganan korban, mulai dari evakuasi hingga identifikasi, dilaksanakan sesuai prosedur operasional standar (SOP). Selain itu, isu hoaks yang sempat beredar terkait tragedi ini juga segera dibantah, dan pemerintah daerah mengimbau masyarakat untuk mengambil informasi hanya dari sumber resmi yang valid.
Dengan kerja keras tim SAR dan dukungan logistik yang memadai, upaya untuk menyelesaikan evakuasi terus dikebut. Harapan utama saat ini adalah agar 13 santri yang masih hilang dapat segera ditemukan, sehingga keluarga korban dapat memperoleh kepastian dan memulai proses pemulihan psikologis mereka.