Korban Gempa Myanmar Tembus 2.000 Orang

Gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang Myanmar pada Jumat, 28 Maret 2025, menyebabkan korban jiwa dan kerusakan yang luas. Hingga Selasa, 1 April 2025, pemerintah Myanmar melaporkan bahwa jumlah korban tewas telah melebihi 2.000 orang, dengan ribuan lainnya mengalami luka-luka dan ratusan masih dinyatakan hilang.
Gempa tersebut berpusat di dekat Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dan dirasakan hingga negara tetangga seperti Thailand dan Bangladesh. Di Mandalay, banyak bangunan, termasuk rumah sakit dan sekolah, mengalami kerusakan parah atau runtuh, menambah jumlah korban jiwa.
Salah satu insiden tragis terjadi di Bright Kids Private School di Mandalay, di mana bangunan sekolah runtuh saat proses belajar mengajar berlangsung. Akibatnya, 15 anak dan 2 orang dewasa, termasuk seorang guru yang berusaha melindungi murid-muridnya, tewas tertimpa reruntuhan.
Di wilayah Sagaing, yang juga terdampak parah, banyak tempat ibadah mengalami kerusakan signifikan. Sekitar 700 jemaah Muslim dilaporkan tewas saat 60 masjid runtuh selama pelaksanaan salat Jumat. Selain itu, 270 biksu Buddha dilaporkan meninggal akibat runtuhnya biara-biara di wilayah tersebut.
Upaya pencarian dan penyelamatan korban menghadapi berbagai tantangan, termasuk pemadaman listrik, gangguan jaringan komunikasi, dan kurangnya alat berat. Kondisi ini diperparah oleh konflik internal yang sedang berlangsung di Myanmar, yang menghambat koordinasi dan distribusi bantuan kemanusiaan.
Pemerintah Myanmar telah mengumumkan masa berkabung nasional selama tujuh hari untuk menghormati para korban gempa. Namun, beberapa kelompok oposisi menuduh pemerintah tidak merata dalam mendistribusikan bantuan, terutama di wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak.
Gempa ini juga berdampak signifikan di negara tetangga. Di Bangkok, Thailand, sebuah gedung bertingkat yang sedang dalam tahap konstruksi runtuh akibat guncangan, menyebabkan 13 orang tewas dan 74 lainnya hilang. Tim penyelamat terus berupaya mencari korban yang masih tertimbun reruntuhan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasikan situasi ini sebagai darurat tingkat tertinggi dan menyerukan bantuan internasional untuk mendukung upaya penyelamatan dan pemulihan. Palang Merah juga memperingatkan potensi terjadinya krisis sekunder, seperti penyebaran penyakit, akibat kondisi sanitasi yang buruk dan kurangnya air bersih di area terdampak.
Meskipun bantuan internasional mulai berdatangan, distribusi dan koordinasi di lapangan masih menghadapi berbagai hambatan, terutama di daerah yang sulit dijangkau dan wilayah yang dikuasai oleh kelompok oposisi. Situasi ini menyoroti kebutuhan mendesak akan akses kemanusiaan yang tidak terbatas dan koordinasi yang efektif antara semua pihak yang terlibat.
Gempa bumi ini menambah penderitaan rakyat Myanmar yang sebelumnya telah menghadapi berbagai tantangan akibat konflik internal dan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Diperlukan upaya bersama dari komunitas internasional untuk memberikan bantuan yang efektif dan mendukung proses pemulihan di negara tersebut.