Koalisi Desak Penghentian Multifungsi TNI dan Revisi UU Peradilan Militer
JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak penghentian total praktik multifungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam urusan sipil. Desakan ini merujuk pada amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil yang dianggap masih dilanggar.
Praktik multifungsi TNI, seperti penempatan prajurit aktif di lembaga sipil untuk urusan keamanan dalam negeri hingga keterlibatan dalam urusan nonpertahanan, dinilai terus meluas. Hal ini memicu keprihatinan karena bertentangan dengan semangat reformasi.
“Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mendesak penghentian total praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil sesuai amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil,” kata Koordinator Peneliti Imparsial, Annisa Yudha, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Menurut Annisa, praktik multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga berdampak buruk bagi profesionalisme TNI. Lebih lanjut, praktik ini membuka peluang penyalahgunaan wewenang yang dapat berujung pada tindakan represif terhadap masyarakat.
“Selain itu, multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat,” bebernya.
Koalisi juga menyoroti banyaknya kasus tindak pidana yang melibatkan prajurit TNI, tetapi penyelesaiannya masih melalui peradilan militer. Sistem peradilan ini dinilai memiliki celah yang menciptakan impunitas.
“Problem ini semakin diperparah dengan belum direvisinya UU 31/1997 tentang peradilan militer, padahal TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 dan pasal 65 ayat (2) UU TNI telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI diadili melalui peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum,” bebernya.
Persidangan militer yang berlangsung secara tertutup dinilai tidak memenuhi prinsip peradilan yang adil (fair trial) dan didominasi oleh pihak militer. Akibatnya, korban dari kalangan masyarakat sipil sulit mendapatkan keadilan.
“Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, impunitas kian menguat dan amat mustahil mengharapkan terwujudnya peradilan yang adil dan setara,” imbuh dia.
Oleh karena itu, koalisi mendesak revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum. Selain itu, koalisi meminta pemerintah dan DPR RI kembali menegaskan agenda reformasi sektor keamanan dalam kebijakan dan praktik.
“Mendesak Panglima TNI untuk mengembalikan institusi militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal-hal di luar mandat konstitusional,” tandasnya.