
Nama Dwi Hartono, seorang pengusaha yang kerap dijuluki crazy rich Jambi, kini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai salah satu otak intelektual dalam kasus penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang BRI Cempaka Putih, Mohamad Ilham Pradipta. Ia ditangkap bersama sejumlah tersangka lain pada 23 Agustus 2025 di Solo, sementara satu tersangka lain diamankan di Jakarta Utara. Kasus ini mengejutkan publik karena melibatkan sosok yang selama ini dikenal luas di dunia bisnis dan media sosial.
Dwi Hartono memiliki portofolio usaha yang cukup beragam, mulai dari bimbingan belajar online, properti, perkebunan, hingga bisnis fashion dan skincare. Ia tercatat mendirikan PT Hartono Mandiri Makmur yang bergerak di bidang perangkat lunak, serta PT Digitalisasi Aplikasi Indonesia yang mengembangkan platform bimbingan belajar online bernama Guruku. Dari bisnis tersebut, Dwi membangun reputasi sebagai pengusaha muda yang sukses sekaligus motivator bagi kalangan milenial.
Selain itu, jejak Dwi di media sosial juga terbilang kuat. Ia aktif melalui akun Instagram @klanhartono dan kanal YouTube Klan Hartono yang memiliki lebih dari 169 ribu subscriber. Konten yang ia bagikan berisi motivasi bisnis, gaya hidup mewah, hingga dokumentasi kegiatan sosial. Tidak jarang, ia memperlihatkan aktivitas eksklusif seperti bepergian dengan helikopter pribadi maupun berinteraksi dengan pejabat publik dan tokoh militer.
Sosoknya semakin dikenal ketika ia didapuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang digelar Badan Narkotika Nasional (BNN) di Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Juni 2024. Dalam acara itu, Dwi berbicara bersama sejumlah tokoh penting, termasuk perwira militer dan akademisi. Kehadiran Dwi sebagai pembicara kala itu memperkuat citranya sebagai figur yang tidak hanya sukses dalam bisnis, tetapi juga memiliki pengaruh di ranah sosial dan edukasi.
Namun, pengungkapan kasus pembunuhan pegawai bank yang menyeret namanya membuat publik terkejut. Polisi menyebut ada delapan tersangka dalam kasus ini, termasuk eksekutor di lapangan serta pihak yang diduga sebagai dalang intelektual. Pemeriksaan terhadap Dwi Hartono terus dilakukan untuk menelusuri sejauh mana keterlibatannya dalam perencanaan kejahatan tersebut.
Kehadiran Dwi di seminar resmi BNN lalu menjadi sorotan setelah kasusnya terungkap. Publik mempertanyakan bagaimana seorang figur yang pernah didaulat menjadi motivator dan narasumber dapat terjerat kasus kriminal berat. Fenomena ini menimbulkan diskusi luas mengenai kontrasnya citra publik di media sosial dengan kenyataan yang kemudian terungkap.
Media juga menyoroti gaya hidup Dwi yang selama ini glamor, sering diperlihatkan melalui konten-konten media sosialnya. Rumah mewah di Cibubur, kendaraan eksklusif, serta kedekatan dengan tokoh publik menjadi bagian dari narasi yang ia bangun. Kini, semua itu dipandang dengan kecurigaan setelah kasus hukum mencuat.
Kasus ini menunjukkan bahwa citra yang dibangun di media sosial dapat runtuh seketika ketika berhadapan dengan realitas hukum. Reputasi sebagai pengusaha sukses, dermawan, sekaligus motivator kini berbalik menjadi sorotan negatif akibat dugaan keterlibatan dalam kejahatan serius.
Publik juga menantikan transparansi proses hukum, agar kasus ini tidak hanya menjadi konsumsi sensasi tetapi benar-benar memberikan kejelasan mengenai kebenaran dan keadilan. Kepolisian berkomitmen menuntaskan penyelidikan, termasuk menggali motif serta jaringan di balik kejahatan yang terencana ini.
Kasus Dwi Hartono pun menjadi pelajaran penting tentang rapuhnya reputasi di era digital. Media sosial dapat membentuk citra, tetapi tidak bisa menutupi fakta bila bertentangan dengan hukum. Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat untuk lebih kritis dalam menilai figur publik, sementara bagi aparat penegak hukum, menjadi ujian untuk menunjukkan keseriusan dalam menuntaskan perkara dengan adil dan transparan.