Politik

Hensa Nilai Ketidakmunculan Gibran di Acara Negara Justru Tingkatkan Popularitasnya

  • September 19, 2025
  • 3 min read
Hensa Nilai Ketidakmunculan Gibran di Acara Negara Justru Tingkatkan Popularitasnya Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio. (Dok: Lembaga Survei KedaiKOPI)

JAKARTA – Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) menyoroti fenomena Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang semakin jarang muncul di acara resmi negara, tetapi justru semakin viral di kalangan masyarakat. Ia melihat bahwa ketidakhadiran Gibran dalam berbagai agenda resmi dapat menjadi strategi yang efektif untuk mempertahankan perhatian publik.

Hensa menyatakan bahwa dalam seminggu terakhir, terdapat sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari sikap Gibran. Ia menilai Gibran menunjukkan peningkatan kepercayaan diri yang signifikan dalam menghadapi kritik dan perbedaan opini.

“Lama-kelamaan saya menilai kepercayaan diri seorang Gibran itu meningkat tajam. Dia tidak terlalu peduli dengan apa kata orang, dan tetap setia dengan keyakinannya,” ujar Hensa kepada wartawan.

Sebagai contoh, Hensa menyebut peristiwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Istiqlal, di mana Gibran memilih mengenakan batik sementara peserta lain mengenakan kemeja putih.

“Mas Gibran nggak masalah dengan penggunaan batik itu. Dia tetap percaya diri mengikuti acara itu, mendampingi Presiden,” ujarnya.

Selanjutnya, Hensa mengamati bahwa Gibran sangat fokus pada agenda pribadinya. Ia tidak terganggu oleh acara di luar jadwalnya, seperti saat reshuffle kabinet di mana Gibran tidak berada di sisi Presiden Prabowo Subianto.

“Misalnya, pada saat Reshuffle, Mas Gibran nggak ada di samping Pak Prabowo. Ya nggak apa-apa juga. Kenapa? Karena mungkin tidak diminta datang. Jadi Wapres itu, kalau tidak diminta oleh Presiden, maka fine, oke. Nggak perlu hadir,” ujarnya.

Hensa menilai sikap ini menunjukkan kedewasaan Gibran dalam berpolitik. Ia tetap menjalankan kegiatannya, seperti bertemu masyarakat, mengikuti ajaran ayahnya, Presiden ke-7 Joko Widodo.

Hensa juga menyoroti bahwa eksistensi Gibran bersifat pribadi dan tidak bergantung pada orang lain. Setiap ketidakhadiran justru membuatnya semakin dibahas di media dan sosial media.

“Jadi Mas Gibran makin hari, memang makin menunjukkan eksistensi. Setiap ketidakhadiran Gibran dalam acara negara, tanpa disadari oleh Pak Prabowo, itu justru meningkatkan popularitas dia,” ujar Hensa.

Hensa menyebut ini sebagai strategi yang efektif. Saat reshuffle kabinet ke-3, Gibran tidak hadir, tetapi tetap fokus pada agenda sendiri tanpa menunjukkan kekecewaan.

“Ini sebuah strategi yang sangat luar biasa untuk meningkatkan popularitas. Kemarin pada saat Reshuffle kabinet ke-3, Mas Gibran nggak ada. Tapi apakah dia kecewa? Tidak. Dia tidak kecewa, dia tetap saja menjalankan agenda-nya,” kata Hensa.

Menurut Hensa, Gibran meningkatkan popularitas melalui pendekatan diam dan gerakan bertahap.

“Tapi menurut saya, Mas Gibran meningkatkan popularitasnya dengan silence: Dalam diam, bergerak pelan-pelan ya,” ujarnya.

Hensa menambahkan bahwa di tengah kompetisi politik menuju 2029, Gibran sebagai wakil presiden terus maju, mengembangkan citra tanpa terganggu isu kontroversial.

“Dan ada sebuah kompetisi yang terbuka nanti di 2029, di saat anak-anak presiden lain, seperti Mbak Puan, Mas AHY, mungkin tidak terlalu sibuk dengan panggungnya, mas Gibran jalan aja sebagai Wapres.”

“Gibran sebagai RI-2, dia jalan terus. Mengembangkan strategi-strategi, mendapatkan citra dan popularitas.”

Terkait isu terkini, Hensa menyebut adanya sebagian pihak kini yang mempermasalahkan ijazah Gibran ini seperti sedang berupaya untuk mencari kelemahan sang wapres.

Meski demikian, Hensa mengamati bahwa Gibran tetap tenang menghadapi upaya pencarian kelemahan tersebut.

“Jadi kini memang banyak yang berusaha mencari kelemahan sang wapres, dan apa yang dilakukan Gibran? Dia nggak peduli,” ucap Hensa.

Hensa berpendapat bahwa publik semakin menantikan kehadiran Gibran, yang membuatnya selalu diingat meski sering absen dari panggung utama.

“Dan kita bisa rasakan nanti bahwa semua orang mulai menantikan kehadiran Gibran, dan selalu bertanya-tanya, dimana Mas Gibran? Dengan itu ya, dia bisa aja hadir di mana aja,” kata Hensa.

Hensa menyimpulkan bahwa ini merupakan gerakan politik yang diam-diam, yang berpotensi membawa Gibran ke posisi lebih tinggi.

“Ini adalah sebuah gerakan politik senyap, diam-diam merayap, kemudian datang. Tapi pada suatu saat nanti, tanpa disadari, dia bisa mengapai puncak kejayaannya.” Pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *