Harga Minyak Dunia Turun di Tengah Gencatan Senjata Israel-Iran

JAKARTA – Harga minyak mentah Brent, patokan harga minyak internasional, anjlok ke level US$68 (sekitar Rp1,1 juta) per barel. Angka ini lebih rendah dibandingkan saat Israel meluncurkan serangan rudal ke fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni lalu.
Sebelumnya, harga minyak sempat melonjak hingga US$81 (sekitar Rp1,3 juta) per barel sejak serangan tersebut dimulai, dipicu kekhawatiran bahwa Iran dapat memblokade Selat Hormuz, jalur utama pengiriman minyak dan gas global.
“Jika gencatan senjata diikuti seperti yang diumumkan, investor mungkin mengharapkan harga minyak kembali normal,” kata Priyanka Sachdeva, analis pasar senior di Phillip Nova.
Namun, ia menegaskan, “sejauh mana Israel dan Iran mematuhi ketentuan gencatan senjata yang baru-baru ini diumumkan akan memainkan peran penting dalam menentukan harga minyak”.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mendesak Israel dan Iran untuk tidak “melanggar” gencatan senjata. Israel menyatakan telah setuju dengan gencatan senjata setelah “menghilangkan ancaman nuklir Iran”.
Dampak pada Pasar Saham dan Ekonomi Global
Penurunan harga minyak ini memicu respons positif di bursa saham global. Indeks FTSE 100 di Inggris naik 0,45 persen pada pembukaan perdagangan, sementara CAC-40 di Prancis melonjak 1,5 persen, dan Dax Jerman naik 1,8 persen. Di Asia, Nikkei Jepang menguat 1,1 persen, dan Hang Seng Hong Kong naik 2,1 persen.
Meski demikian, harga minyak sempat turun hampir 4 persen di tengah eskalasi konflik di Timur Tengah. Pekan lalu, AS mengebom fasilitas nuklir Iran, yang memicu serangan balasan Iran ke pangkalan AS di Qatar pada Senin (23/06). Akibatnya, harga minyak Brent sempat mencapai level tertinggi dalam lima bulan saat pasar dibuka di London.
Ancaman Blokade Selat Hormuz
Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab, merupakan jalur pelayaran vital dunia. Sekitar seperlima pasokan minyak dan gas global, senilai US$600 miliar (sekitar Rp9,8 kuadriliun), melewati selat ini setiap hari. Pasokan ini berasal dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Iran.
Televisi pemerintah Iran pada Minggu (22/06) melaporkan bahwa parlemen negara itu sepakat untuk menutup Selat Hormuz, sebuah langkah yang dapat mengganggu pelayaran global.
Analis Goldman Sachs memperingatkan, skenario terburuk adalah pasokan minyak melalui Selat Hormuz berkurang setengahnya selama sebulan dan turun 10 persen selama 11 bulan berikutnya. Hal ini dapat mendorong harga minyak Brent ke puncaknya, yakni US$110 (sekitar Rp1,7 juta) per barel.
Namun, peluang Iran menutup selat sepenuhnya dinilai kecil. “Akan sulit bagi Iran untuk menutup Selat Hormuz sepenuhnya untuk jangka waktu yang lama karena posisi Armada Kelima Angkatan Laut AS di Bahrain,” tulis Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets.
“Saya pikir itu sangat tidak mungkin,” tambah Simon French, kepala ekonom di Panmure Liberum, seraya menyebutkan peran China yang signifikan dalam menekan Iran agar menjaga selat tetap terbuka.
Dampak pada Harga Energi dan Inflasi
Konflik di Timur Tengah berpotensi menaikkan harga energi global, yang berdampak pada harga bahan bakar hingga pangan. Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan dapat meningkatkan biaya produksi dan transportasi, sehingga memicu inflasi.
Capital Economics memperkirakan, jika harga minyak melampaui US$100 (sekitar Rp1,6 juta) per barel, inflasi di negara-negara maju bisa naik 1 persen. “Di AS, Federal Reserve telah mengisyaratkan jeda dalam siklus pelonggarannya, dengan alasan ‘risiko geopolitik terhadap stabilitas harga’,” kata Garry White, kepala komentator investasi di Charles Stanley Group.
Di Inggris, jika harga minyak mencapai US$110 per barel, inflasi bisa melonjak di atas 4 persen dari level saat ini 3,4 persen, menyulitkan Bank of England untuk melanjutkan pemotongan suku bunga.
Kenaikan harga energi juga dapat memengaruhi biaya rumah tangga, terutama di Inggris, meskipun batas harga energi Ofgem untuk Juli hingga September menjaga stabilitas sementara. Namun, jika konflik berlanjut, tagihan rumah tangga dan sektor bisnis berpotensi terdampak signifikan.