Nasional

Feri Amsari: MK Larang Pemilihan Tidak Langsung di Pemilu

  • August 7, 2025
  • 3 min read
Feri Amsari: MK Larang Pemilihan Tidak Langsung di Pemilu Pakar hukum tata negara Feri Amsari dalam YouTube Hendri Satrio Official

JAKARTA – Pakar hukum tata negara Feri Amsari memberikan pandangan terkait dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah.

Menurut Feri, berdasarkan putusan tersebut, ia meyakini bahwa pemilihan tidak langsung tidak akan terjadi. Ia menjelaskan bahwa putusan MK nomor 135 itu mempertegas asas pemilihan yang bersifat langsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.

“Pemilihan perwakilan itu terlarang menurut putusan Mahkamah Konstitusi. Karena Mahkamah mempertegas sifat langsung itu. Kalau dilihat konstruksi Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, eksplisit disebut asasnya: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan lima tahun sekali. Nah, itu yang menyebabkan pemilu presiden, wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota, itu sudah tegas langsung,” ujarnya dalam podcast YouTube Hendri Satrio Official.

Lebih lanjut, Feri menyoroti Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan secara demokratis. Namun, ia menegaskan bahwa istilah “demokratis” tidak boleh disalahartikan untuk membenarkan pemilihan tidak langsung.

Menurutnya, makna demokratis dalam konteks ini harus dilihat dari niat awal pembentuk UUD, yang menghormati demokrasi asimetris di daerah tertentu seperti Yogyakarta, Jakarta, Papua, dan Aceh karena faktor sejarah dan kekhususan administrasi.

“Artinya, menurut pelaku perubahan UUD, yang lain tetap harus dipilih secara langsung. Jangan kemudian dimaknai karena demokratis lalu kita bisa mengubah semuanya. Itu menghormati faktor sejarah, faktor kekhususan administrasi,” tegas Feri.

Feri juga mengkritik kecenderungan sebagian politisi yang ingin mengembalikan mekanisme pemilihan tidak langsung karena dianggap lebih mudah dan murah.

Ia menyebutkan, dengan pemilihan tidak langsung, politisi hanya perlu mendekati sejumlah anggota dewan untuk mengamankan suara, yang mempermudah praktik politik uang.

“Kan matematikanya gampang. Kalau anggota dewannya 10, ya paling aman 7 lah. Kali 1 miliar selesai itu. Nah, matematika itu yang ada di kepala orang politik membuat mereka tidak lelah,” sindirnya.

Menurut Feri, pemilihan langsung justru mencerminkan daulat rakyat, di mana kandidat harus menyampaikan program dan visi kepada masyarakat. Namun, ia menyayangkan bahwa sebagian politisi justru menganggap proses ini mahal dan melelahkan.

“Padahal korelasi kampanye pemilihan langsung itu bicara soal daulat sipil, daulat rakyat. Jadi kita mau menyampaikan program rancang bangunnya. Yang merusak, membuat ini costly, tiring, dan lain-lain, ya teman-teman politisi. Mereka punya kecenderungan membuat demokrasi kita rumit,” ungkapnya.

Feri menegaskan, putusan MK tersebut harus menjadi pedoman untuk memastikan pemilihan kepala daerah tetap berjalan secara langsung, sehingga demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat dapat terus terjaga.

Ia berharap para pemangku kepentingan tidak memutarbalikkan makna konstitusi demi kepentingan politik semata.

“Padahal korelasi kampanye pemilihan langsung itu bicara soal daulat sipil, daulat rakyat. Jadi kita mau menyampaikan program rancang bangunnya. Jadi yang merusak membuat ini costly, tiring dan lain-lain ya teman-teman politik. Bukan teman-teman politik, politisinya ya. Mereka punya kecenderungan membuat demokrasi kita rumit. Yang kemudian membuat biaya tinggi dan akhirnya melelahkan mereka sendiri,” tutup Feri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *