Bendera One Piece Berkibar, Maman Suherman Nilai Pemerintah Wajib Introspeksi akan Kebijakannya

JAKARTA – Polemik larangan penggunaan bendera bertema One Piece di Indonesia memicu diskusi luas di kalangan masyarakat. Budayawan dan penulis Maman Suherman menyoroti sikap pemerintah yang dinilainya terlalu reaktif dalam menanggapi fenomena ini.
Ia mengajak semua pihak untuk melihat esensi di balik munculnya simbol tersebut, yang menurutnya mencerminkan keresahan masyarakat.
“Kenapa kemudian perlu selalu bertanya-tanya itu ada penggerak atau tidak, kenapa gak langsung ambil esensi dari tiba-tiba munculnya gambar itu kan bahwa ada keresahan, yuk rendam,” ungkap Maman dalam podcast YouTube Hendri Satrio Official, Senin (11/8/2025).
Menurut Maman, respons pemerintah yang cenderung represif, seperti ancaman atau pelarangan, justru memperburuk situasi. Ia menilai komunikasi yang buruk dari pemerintah menjadi salah satu akar masalah.
“Kok sedemikian sensitif sih, sedemikian lebay, sedemikian tetap, komunikasi Seperti itu kan jelek banget. Dikit-dikit kamu menghadapi kami dengan tekanan, Dikit-dikit kamu menghadapi kami dengan ancaman Dikit-dikit kamu menghadapi kami dengan turunkan dan lain sebagainya,” lanjutnya.
Maman juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak bijaksana, seperti wacana pajak pada amplop hajatan hingga kebijakan Kemkomdigi tentang panggilan WhatsApp berbayar. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memilih pendekatan yang lebih tenang dan strategis.
“Ini yang saya bilang, pemerintahan kali ini nih, orang-orang komunikasinya kemana ya? Alih-alih komunikasinya untuk duduk dengan tenang memikirkan strategi Komunikasi apa yang harus dihadapin dengan dingin, misalnya, itu kan jauh lebih penting daripada tiba-tiba sedemikian cepatnya melakukan sesuatu yang sangat reaktif,” tegasnya.
Lebih lanjut, Maman memperingatkan bahwa simbol-simbol seperti bendera One Piece bisa menjadi cerminan luka sosial masyarakat. Jika tidak ditangani dengan bijak, luka tersebut dapat “bernanah” dan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
“Justru anda yang harus introspeksi. Kami ini melakukan kesalahan apa nih sampai tiba-tiba masyarakat muncul dengan suatu yang simbolik sifatnya, hati-hati kalau simbol-simbol itu, ternyata adalah luka dan kita tidak bersihkan, kita malah memperlebar dan memperparah luka itu, bernanah loh dan itu bahaya,” ungkapnya.
Maman menyarankan agar pemerintah menghadapi fenomena ini dengan pendekatan yang lebih humanis dan dialogis, bukan dengan tindakan represif.
Polemik ini, menurutnya, menjadi pengingat pentingnya komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat untuk meredam keresahan sosial.
“Kalau kita hadapi dengan senyuman, aman-aman aja kok,” pungkasnya.