JAKARTA – Hakim Konstitusi Anwar Usman kembali menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran etik terkait pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan pengujian Undang-Undang Ibukota Negara (UU IKN) dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Laporan ini diajukan oleh advokat Syamsul Jahidin, yang juga merupakan pemohon dalam judicial review kedua undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pelaporan dilakukan pada Rabu (10/12/2025) di Gedung MK. Syamsul menilai dissenting opinion Anwar Usman pada putusan yang mayoritas hakim kabulkan tersebut tidak logis dan patut diuji lebih lanjut.
Menurut Syamsul, Anwar Usman sering menyampaikan dissenting opinion dalam perkara yang ia gugat, meskipun putusan akhirnya dikabulkan oleh mayoritas hakim.
“Ketika itu dikabulkan, ada yang dissenting. Dari dua putusan ini yang dissenting itu Anwar Usman. Kami baca ini (dissenting), itu intinya penolakan, kami sambung-sambungkan. Ini enggak logis sekali penolakannya,” ujar Syamsul saat ditemui di Gedung MK, Rabu (10/12/2025).
Syamsul menyatakan, laporan ini bertujuan untuk menguji apakah dissenting opinion tersebut murni berdasarkan pertimbangan hukum atau ada motif kepentingan pribadi.
Saat ini, laporan tersebut telah diterima MKMK dan sedang diproses tahap administrasi. Namun, pada Kamis (11/12/2025), Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan belum menerima informasi resmi mengenai aduan tersebut.
Ada pun Anwar Usman bukan kali pertama dilaporkan ke MKMK. Pada periode 2023-2024, ia pernah diadukan berkali-kali terkait putusan kontroversial, khususnya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wakil presiden meski belum berusia 40 tahun.
Putusan tersebut merumuskan norma baru bahwa pejabat terpilih melalui pemilu boleh mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden tanpa memenuhi syarat usia minimum.
Hingga 30 Oktober 2023, Anwar Usman yang saat itu menjabat Ketua MK dilaporkan sebanyak 15 kali terkait putusan tersebut. Pada 7 November 2023, MKMK menjatuhkan sanksi pelanggaran etik berat dan mencopotnya dari jabatan Ketua MK.
Anwar dinyatakan melanggar prinsip ketakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, serta kepantasan dan kesopanan dalam Sapta Karsa Hutama.
Pasca-pencopotan, MK menunjuk Suhartoyo sebagai Ketua MK baru. Namun, Anwar Usman menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sejak 23 November 2023.
Sebelumnya, pada 8 November 2023, Anwar menggelar konferensi pers dan menyebut beberapa nama hakim yang diduga memiliki konflik kepentingan. Tindakan ini memicu laporan baru ke MKMK.
Pada 28 Maret 2024, MKMK kembali menyatakan Anwar melanggar etik karena tidak menerima pencopotannya sebagai Ketua MK periode 2022-2027, dengan sanksi teguran tertulis.
Kemudian, pada 13 Mei 2024, Anwar dilaporkan lagi karena menyewa pengacara Muhammad Rullyandi—yang pernah menjadi kuasa hukum KPU dalam sidang sengketa Pileg 2024—sebagai ahli dalam gugatannya di PTUN.
Namun, setelah pemeriksaan, MKMK memutuskan Anwar tidak melanggar etik.
“Menyatakan Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam prinsip Kepantasan dan Kesopanan dalam Sapta Karsa Hutama,” ujar Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam Putusan Nomor 08/MKMK/L/05/2024 yang dilansir mkri.id, Kamis (4/7/2024).
MKMK menilai keputusan tersebut menghormati hak Anwar Usman sebagai pihak yang sedang berperkara.
Pelaporan terbaru ini menambah daftar panjang kontroversi Anwar Usman, yang dijadwalkan pensiun pada Desember 2026.