Opini

Ketika Darurat Militer Menjadi Momok dan Tantangan Reformasi Hukum

  • September 10, 2025
  • 4 min read
Ketika Darurat Militer Menjadi Momok dan Tantangan Reformasi Hukum Potret para parajurit TNI ilustrasi darurat militer. (Foto: LiteX)

Dalam dinamika politik Indonesia isu darurat militer atau martial law, beberapa kali muncul ke permukaan. Isu ini seperti hantu masa lalu, yang setiap kali disebut, seolah membangkitkan kekhawatiran dan trauma historis. Ironisnya, perdebatan yang intens ini sering kali mengabaikan pemahaman substansial mengenai landasan hukum dan mekanismenya.

Untuk memahami fenomena ini, kita harus melihatnya dari dua sisi, konsepsi legal-akademis yang formal dan bagaimana isu ini bermanifestasi di ranah publik. Dari kacamata hukum tata negara, darurat militer sesungguhnya hanyalah bagian dari konsep yang lebih besar, Hukum Tata Negara Darurat. Konsep ini, menurut kajian akademis, adalah mekanisme yang secara terpaksa harus dijalankan oleh negara dalam situasi bahaya. Tujuannya mulia, yaitu memungkinkan negara untuk mengambil tindakan luar biasa demi keamanan, tanpa harus merusak sistem pemerintahan demokratis yang dianut berdasarkan konstitusi. Landasan hukumnya pun jelas, bersandar pada   

Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika ada kegentingan yang memaksa.   

Di sisi lain, publik sering kali tidak melihatnya sebagai mekanisme hukum, melainkan sebagai alat politik yang menakutkan. Tak heran, spekulasi liar ini muncul saat dan pasca kerusuhan demo akhir Agustus 2025 lalu, karena Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut turut mengamankan ibukota. Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, secara tegas menepis rumor itu, menekankan bahwa TNI akan tetap berada dalam koridor konstitusi dan hanya bertindak sebagai dukungan bagi Kepolisian, bukan sebaliknya.   

Namun, untuk benar-benar memahami posisi TNI, kita perlu melihat kerangka hukum yang masih berlaku. Landasan hukumnya sangat jelas, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Perppu ini, yang merupakan turunan dari Pasal 12 dan 22 UUD 1945 , secara tegas membagi keadaan bahaya menjadi tiga tingkatan yaitu Darurat SipilDarurat Militer, dan Keadaan Perang. Ini adalah hierarki yang menunjukkan kapan kekuasaan militer boleh diberikan kewenangan lebih, yaitu saat ancaman keamanan sudah sangat serius dan tidak dapat diatasi oleh otoritas sipil.   

Sejarah juga mengajarkan kita banyak hal. Di awal kemerdekaan, negara kita memiliki serangkaian undang-undang darurat yang sangat spesifik dan beragam, mulai dari urusan pajak hingga gaji militer. Ini mencerminkan respons ad-hoc terhadap berbagai krisis struktural saat itu. Namun, dengan lahirnya Perppu No. 23 Tahun 1959, kerangka hukum disederhanakan dan dikonsolidasikan, fokus pada ancaman keamanan yang lebih terstruktur.   

Pemberlakuan darurat militer, pada hakikatnya, tidak bisa lepas dari dua isu krusial, hak-hak sipil dan relevansi hukumnya sendiri. Konsekuensi paling nyata dari darurat militer adalah pembatasan hak-hak fundamental warga negara, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, dan bahkan penyitaan aset pribadi. Kekhawatiran publik ini bukanlah tanpa alasan, beberapa media bahkan secara eksplisit menyebutkan perasaan déjà vu dari tragedi Mei 1998, sebuah memori yang masih segar dalam ingatan 

kolektif bangsa. 

Masalah terbesar adalah kerangka hukum kita yang sudah usang. Perppu No. 23 Tahun 1959 memiliki “masalah yuridis” karena hanya membatasi kedaruratan pada tiga tingkatan (Sipil, Militer, Perang). Ini tidak cocok untuk krisis modern seperti pandemi Covid-19, yang tidak bisa dikategorikan secara pas ke dalam salah satu tingkatan tersebut. 

Kesenjangan ini memaksa pemerintah untuk mencari jalan lain. Dalam kasus pandemi, Presiden Jokowi meresponsnya sebagai “kegentingan yang memaksa” dan menerbitkan Perppu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, bukan dari kerangka Perppu 23/1959. Ini menunjukkan bahwa hukum darurat yang ada tidak relevan, yang bisa memicu perdebatan hukum dan politik tentang legitimasi tindakan pemerintah.   

Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa ada dua realitas berbeda mengenai darurat militer. Di satu sisi, ada landasan hukum yang jelas namun ketinggalan zaman. Di sisi lain, ada persepsi publik yang seringkali dibentuk oleh trauma masa lalu dan disinformasi. Komitmen TNI pasca-Reformasi untuk memposisikan diri di bawah supremasi sipil adalah langkah maju yang patut diapresiasi, menjauhkan mereka dari perdebatan politik.

Namun, tantangan sesungguhnya adalah pada kerangka hukum itu sendiri. Perppu No. 23 Tahun 1959 sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi krisis-krisis kompleks di era modern. Ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan masalah kesiapan negara kita. Oleh karena itu, perlu kajian serius untuk merevisi atau menggantikan Perppu tersebut. Tujuannya adalah menciptakan kerangka hukum yang lebih jelas, komprehensif, dan responsif terhadap tantangan kontemporer, sehingga kita memiliki alat yang efektif untuk melindungi warga negara kita tanpa harus membangkitkan kembali kekhawatiran yang tidak perlu.

Ibnu Dwi Cahyo, Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *