Politik

MK Putuskan Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Mulai 2029, Partai Politik Beri Respons Beragam

  • July 1, 2025
  • 5 min read
MK Putuskan Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Mulai 2029, Partai Politik Beri Respons Beragam Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029. Pemilu nasional akan mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan digelar bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Putusan ini memicu respons beragam dari partai politik. Ada yang mengkritik keras, ada pula yang memilih mengkaji lebih lanjut atau menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Nasdem: MK Curi Kedaulatan Rakyat

Partai Nasdem mengecam putusan MK, menilai bahwa MK telah melampaui kewenangannya dan “mencuri kedaulatan rakyat”. Kritik ini menjadi salah satu dari 10 sikap resmi partai dalam menanggapi putusan tersebut.

“MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945,” ujar anggota Majelis Tinggi DPP Partai Nasdem Lestari Moerdijat saat membacakan sikap resmi partai, Senin (30/6/2025).

“Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” sambungnya menegaskan.

Nasdem juga menilai putusan tersebut melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Menurut Lestari, putusan ini memunculkan krisis konstitusional yang perlu dicarikan solusi agar kembali pada ketaatan terhadap konstitusi.

“Partai Nasdem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” ujar Lestari.

Golkar: Putusan MK Final, DPR Bisa Buat UU Baru

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Sarmuji menyebut banyak pihak mempertanyakan putusan MK, meskipun ia menegaskan bahwa putusan tersebut bersifat final dan mengikat.

“Keputusan MK itu final dan mengikat sifatnya, meskipun banyak orang masih bertanya-tanya kenapa MK memutuskan hal seperti itu,” ujar Sarmuji di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

Sarmuji menambahkan, DPR bisa membuat undang-undang baru untuk mengatur pemisahan pemilu nasional dan daerah, selama tidak bertentangan dengan putusan MK. Namun, ia mengakui bahwa undang-undang baru berpotensi kembali digugat ke MK.

“(Putusan) itu tidak menghalangi DPR untuk membuat undang-undang yang mungkin saja bisa menyesuaikan dengan keputusan MK itu, atau membuat undang-undang yang relatif baru, poin-poin baru, asalkan bukan sesuatu yang menjadi objek gugatan MK kemarin,” ujar Sarmuji.

DPR, kata Sarmuji, akan mengkaji putusan MK secara mendalam sebelum merevisi UU Politik yang relevan.

Demokrat: Perlu Kajian Dampak Perubahan Sistem

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan pihaknya masih mengkaji putusan MK karena perubahan sistem pemilu ini memiliki dampak besar.

“Saya rasa kita semua perlu mempelajari lebih lanjut apa saja yang menjadi dampak dari sebuah perubahan sistem. Setiap perubahan sistem pasti ada dampak atau konsekuensi yang harus kita ketahui bersama dan kita antisipasi,” ujar AHY saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (29/6/2025) malam.

AHY menekankan perlunya mengawal perubahan aturan kepemiluan agar demokrasi tetap sehat dan berkualitas, tidak hanya dari sisi penyelenggaraan pemilu, tetapi juga dampaknya bagi kehidupan bangsa.

“Yang jelas bagi saya, kita harus terus mengawal agar sistem demokrasi tetap sehat dan berkualitas. Pemilu adalah sebuah indikasi, tetapi bukan hanya kuantitas atau seberapa baik kita bisa menyelenggarakan pemilu,” kata AHY.

PKB: MK Melampaui Kewenangan DPR

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menilai MK telah melampaui kewenangannya karena memisahkan pemilu nasional dan daerah, yang seharusnya menjadi domain DPR.

“Bahwa Undang-Undang (UU) Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” ujar Khozin melalui keterangan tertulis, Jumat (27/6/2025).

Khozin juga menyebut putusan MK sebagai paradoks, karena bertentangan dengan putusan sebelumnya (Nomor 55/PUU-XVII/2019) yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu kepada DPR.

PKS: Hormati Putusan MK, DPR Siap Revisi UU

Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengajak semua pihak menghormati putusan MK yang mengubah skema pemilu menjadi dua tahap: Pemilu Nasional pada 2029 dan Pemilu Daerah pada 2031.

“Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan Mahkamah Konstitusi ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat, karenanya harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR,” ujar Jazuli, Minggu (29/6/2025).

Jazuli menegaskan, DPR akan merevisi UU Pemilu dan Pilkada secara hati-hati dan partisipatif untuk memastikan transisi berjalan mulus, termasuk menjamin hak pilih rakyat dan stabilitas pemerintahan.

PAN: Pemisahan Pemilu Tingkatkan Biaya Politik

Wakil Ketua Umum PAN Eddy Soeparno menyatakan, pemisahan pemilu nasional dan daerah berpotensi meningkatkan biaya politik, karena anggota DPR dan DPRD tidak lagi bisa bekerja tandem seperti pada pemilu serentak.

“Bagaimana konsekuensi biaya dengan pelaksanaan terpisah itu juga merupakan satu hal yang sedang kita pertimbangkan,” kata Eddy, Jumat (27/6/2025).

Ia juga menyebutkan bahwa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang berakhir pada 2029 akan diperpanjang hingga 2031.

Gerindra: DPR Akan Kajian Mendalam

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dari Partai Gerindra menyatakan bahwa DPR akan mengkaji putusan MK secara menyeluruh sebelum menyampaikan sikap resmi.

“Kita akan mengkaji dahulu putusan itu,” kata Dasco, Sabtu (28/6/2025).

Dasco menegaskan perlunya kajian mendalam karena putusan MK baru dikeluarkan, sehingga DPR membutuhkan waktu untuk merumuskan langkah selanjutnya.

Alasan MK Memisahkan Pemilu

MK dalam pertimbangan hukumnya menilai bahwa isu daerah cenderung tenggelam jika Pileg DPRD digabung dengan pemilu nasional. Selain itu, pelaksanaan pemilu serentak dengan lima jenis kertas suara berpotensi membuat pemilih jenuh dan tidak fokus.

MK mengusulkan Pilkada dan Pileg DPRD digelar paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

“Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *