Soal Usulan Amnesti Umum untuk Koruptor, Pakar Hukum: Tidak Bisa Diterima

JAKARTA – Usulan analis komunikasi politik Hendri Satrio agar Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti umum bagi koruptor dengan syarat mengembalikan aset atau dana hasil korupsi memicu perdebatan sengit.
Hensa menyebut langkah ini dapat memulihkan keuangan negara untuk proyek strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, sekaligus memperkuat persatuan nasional.
Namun, sejumlah pakar hukum menilai kebijakan tersebut berisiko melemahkan penegakan hukum dan keadilan.
Dalam wawancara di Hambalang, Jawa Barat, pada 6 April 2025, Presiden Prabowo mendukung penyitaan aset hasil korupsi, namun menekankan pentingnya keadilan agar keluarga pelaku tidak dirugikan.
Hensa mengusulkan amnesti sebagai “kesempatan terakhir” bagi koruptor untuk bertanggung jawab, dengan batas waktu hingga 17 Agustus 2025, diikuti penegakan hukum yang lebih tegas, seperti penyitaan seluruh aset atau pengasingan bagi pelaku korupsi baru.
“Amnesti ini seperti rem, memberi peluang uang negara kembali dan persatuan terjaga. Hukum ke depan adalah spion agar kesalahan tidak terulang,” ujar Hensa.
Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menolak keras gagasan tersebut.
Ia menilai kebijakan amnesti bagi koruptor tidak tepat, apalagi jika hanya didasarkan pada pengembalian hasil kejahatan.
“Keberatan saya bukan soal pro dan kontra, tetapi karena sangat jelas bahwa kejahatan tidak bisa ditukar dengan sekadar mengembalikan hasilnya,” tegas Agustinus.
Ia menjelaskan bahwa pengembalian hasil korupsi bukanlah sanksi, melainkan kewajiban, sebab menguasai hasil kejahatan sudah melanggar hukum.
“Sanksi pidana bersifat personal dan hanya relevan untuk pelaku, bukan untuk melindungi mereka,” tambahnya.
Agustinus juga mengkritik anggapan bahwa koruptor bisa terbebas dari hukuman hanya dengan mengembalikan aset, menyebutnya sebagai preseden buruk yang melemahkan hukum.
Senada, pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mempertanyakan efektivitas amnesti dalam mengurangi korupsi.
“Dalam putusan pengadilan, selain hukuman penjara, ada kewajiban mengganti kerugian negara. Namun, dalam praktik, pengembalian kerugian ini sering nol. Koruptor seolah-olah pailit, padahal aset mereka dialihkan ke luar negeri untuk diinvestasikan dan dinikmati setelah bebas dengan remisi,” ujarnya.
Fickar juga menyoroti “matematika korupsi” yang dipahami pelaku. Ia menilai amnesti justru berisiko memperkuat persepsi bahwa korupsi bisa ditebus, melemahkan efek jera.
“Koruptor tidak gentar dihukum berapa pun karena mereka tahu hukuman bisa ‘dibeli’ dengan uang. Hukuman paling efektif adalah memiskinkan koruptor sampai ke akar-akarnya,” tegasnya.
Terkait aspek keadilan bagi keluarga koruptor, Fickar menyebut amnesti lebih bersifat politis ketimbang kemanusiaan.
“Amnesti terlihat bertujuan mengembalikan harta negara, tapi praktiknya pengembalian itu sering nol besar. Ini lebih tentang politik daripada keadilan,” katanya.
Di sisi lain, Hensa tetap mempertahankan usulannya sebagai solusi pragmatis.
“Kita butuh keseimbangan antara pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Hukuman jera tetap krusial agar koruptor tidak menikmati hasil curian sementara rakyat menunggu pembangunan,” ujarnya.