Diplomasi Global Berubah: Era Aliansi Berbasis Loyalitas Telah Berakhir

Sudah menonton video percakapan Trump dan Zelensky? Jika belum, tontonlah. Jika sudah, mari kita bahas kenyataan pahit yang sedang terjadi.
Dulu, sekutu membantu sekutu atas dasar kepercayaan. Sekarang? Semua adalah transaksi.
Ketika Ukraina meminta tambahan bantuan militer, Trump tak berbasa-basi:
“We aren’t in the business of free defense. Why should Americans pay for Ukraine’s security?”
Zelensky berusaha meyakinkan bahwa Ukraina sedang membela demokrasi, tetapi Trump memotong:
“Democracy doesn’t pay the bills. What’s Ukraine offering in return?”
Jika bahkan negara yang sedang berperang pun harus menawarkan sesuatu untuk mendapatkan bantuan, bagaimana dengan negara lain? Jika Indonesia menghadapi krisis global, apa yang bisa kita tawarkan di meja negosiasi?
Diplomasi transaksional: Tidak ada lagi bantuan gratis
Dulu, aliansi dibangun atas kepercayaan. Sekarang, semuanya dikalkulasi berdasarkan untung-rugi.
Amerika Serikat tak lagi tertarik membiayai sekutu tanpa keuntungan jelas. China juga memahami permainan ini. Belt & Road Initiative (BRI) memberikan pinjaman infrastruktur, tetapi dengan konsekuensi berat. Jika negara peminjam gagal membayar, aset strategis mereka harus diserahkan kepada China.
Negara-negara cerdas mulai beradaptasi. Vietnam, Thailand, dan Indonesia mencari keseimbangan. Indonesia memperluas perdagangan dengan Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika agar tidak terjebak dalam dominasi AS atau China.
Tapi cukupkah itu?
Di dunia yang semakin transaksional, negara tanpa daya tawar akan tersingkir. Jika suatu saat Indonesia membutuhkan dukungan global, apakah kita cukup kuat untuk menegosiasikan bantuan dengan harga yang menguntungkan?
Mbah John Mearsheimer (2014) menegaskan bahwa negara-negara hanya bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka, bukan solidaritas atau moralitas.
Mbah Karl Marx (1867) bahkan lebih jauh mengatakan, “Government is but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie.” Dalam dunia yang dikuasai kepentingan ekonomi, negara besar bertindak layaknya perusahaan—hanya peduli pada laba dan rugi.
Tidak ada lagi persekutuan abadi
Dulu, negara kecil bisa merasa aman karena berada di bawah perlindungan negara besar. Sekarang? Amerika meminta NATO untuk membayar lebih banyak demi pertahanan mereka sendiri.
“Europe should be doing more, Ukraine’s their neighbor, not ours.”
Amerika menarik diri, meninggalkan sekutunya untuk bertahan sendiri. Negara-negara Eropa sadar bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada Washington.
Sementara itu, BRICS semakin agresif menantang dominasi G7. Timur Tengah semakin cerdas, menyeimbangkan hubungan antara AS, China, dan Rusia. Setiap negara kini berjuang sendiri demi kepentingannya.
Uncle Dipesh Chakrabarty (2000) melihat ini sebagai bukti bahwa negara-negara berkembang harus mengikuti aturan negara kuat atau tersingkir dari sistem global.
Indonesia memahami bahwa tidak ada lagi ruang untuk bergantung pada satu kekuatan besar. Industri pertahanan harus diperkuat. Ketergantungan pada impor senjata harus dikurangi.
Kerja sama dengan Jepang, Turki, dan Korea Selatan semakin diperluas. Bukan hanya sebagai pembeli, tetapi sebagai mitra dalam pengembangan teknologi pertahanan.
Di dunia yang semakin transaksional, hanya negara yang memiliki kekuatan nyata yang akan dihormati.
Bantuan luar negeri kini menjadi senjata geopolitik
Saat Zelensky meminta lebih banyak bantuan, Trump tidak bertanya tentang kondisi perang atau kesulitan rakyat Ukraina. Dia hanya ingin tahu satu hal:
“We’ve given Ukraine billions. You want more? What are we getting in return?”
Bantuan bukan lagi sekadar belas kasihan. Setiap dolar yang keluar harus menghasilkan keuntungan.
Amerika menekan negara penerima agar mengikuti kebijakannya. China menjerat negara-negara berkembang dengan utang strategis. IMF dan Bank Dunia menyalurkan pinjaman dengan syarat yang lebih menguntungkan negara donor dibanding penerima.
Mbah Noam Chomsky (1999) menegaskan bahwa “humanitarian intervention is often a cover for geopolitical dominance.” Bantuan dari negara besar sering kali hanyalah alat untuk mengontrol negara penerima.
Indonesia juga harus waspada. Tidak boleh ada perjanjian yang mengikat tanpa keuntungan nyata. Jika ada investasi asing, Indonesia harus tetap memiliki kendali atas sumber daya dan kebijakan ekonomi.
Sumber daya alam kini menjadi alat tawar dalam diplomasi
Trump mengungkap realitas dunia yang sebenarnya:
“Why should we keep giving money when you have what we need? How about a minerals deal instead?”
Amerika tidak akan memberikan bantuan tanpa imbalan. Jika sebuah negara memiliki sumber daya yang dibutuhkan, maka bantuan hanya akan datang dengan syarat tertentu.
China sudah memahami ini lebih dulu. Mereka menguasai pasokan rare earth dunia, memonopoli bahan baku teknologi tinggi. Eropa mulai panik mencari alternatif. Indonesia mulai memainkan kartunya dengan berani: larangan ekspor nikel mentah tetap dipertahankan.
Tapi itu belum cukup. Jika hanya menjadi penyedia bahan baku, Indonesia tetap hanya akan menjadi sumber daya bagi negara lain, bukan pemain utama.
Satu-satunya cara untuk mengubah posisi ini adalah dengan membangun rantai pasok sendiri. Tidak hanya menambang litium, tetapi memproduksi baterai EV. Tidak hanya menyediakan nikel, tetapi menjadi pusat industri teknologi energi masa depan.
Aliansi militer sekarang berbasis keuntungan, bukan loyalitas
Trump tidak berbasa-basi ketika berbicara soal keamanan:
“Security isn’t free. What’s in it for us?”
Amerika Serikat tidak lagi menawarkan perlindungan cuma-cuma. Jika sebuah negara ingin mendapatkan dukungan militer, maka harus ada sesuatu yang bisa diberikan sebagai imbalan.
Dunia sudah berubah. Semua menjadi transaksi. Semua menjadi hitungan untung-rugi.
Tidak ada ruang bagi negara yang lemah. Tidak ada tempat bagi mereka yang hanya mengikuti arus.
“Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.”
Menolak bahaya lebih utama daripada mendatangkan manfaat.
Prinsip ushul fiqh ini tidak hanya berlaku dalam hukum Islam, tetapi juga dalam strategi geopolitik. Indonesia harus memiliki kekuatan sendiri untuk menolak ancaman, bukan hanya berharap pada perlindungan dari negara lain.
Indonesia tidak boleh menjadi objek dalam permainan geopolitik.
Indonesia harus menjadi pemain utama. Bismillah…
Sumber Facebook Dr. Mahmud Syaltout