Demam Babi Afrika Mewabah, Apakah Menular dan Berbahaya?
JAKARTA – Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) kini terus menjadi perhatian di berbagai daerah di Indonesia. Penyakit yang menyerang populasi babi ini pertama kali terdeteksi di Sumatera Utara pada tahun 2019. Saat ini, penyakit ini telah menyebar ke 32 provinsi, termasuk Papua, Papua Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Di Papua Tengah saja, dilaporkan sebanyak 6.273 ekor babi mati akibat ASF sepanjang bulan Januari 2024. Hingga saat ini, ribuan babi dilaporkan telah mati karena terinfeksi ASF, dan Indonesia masih belum memiliki vaksin untuk mengatasi wabah ini.
Tingginya jumlah kasus ASF yang menyerang babi menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertanyaan, salah satunya adalah apakah virus atau demam babi Afrika ini dapat menular dan membahayakan manusia?
Sebelum menjawab kekhawatiran tersebut, penting untuk memahami lebih dalam tentang apa itu demam babi Afrika. Berikut penjelasannya.
Apa itu demam babi Afrika?
Demam Babi Afrika (African Swine Fever/ASF) adalah penyakit virus yang menyerang babi domestik dan liar, dengan tingkat penularan yang sangat tinggi dan angka kematian mendekati 100 persen.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Asfivirus dalam keluarga Asfarviridae, yang memiliki tingkat penularan dan angka kematian yang sangat tinggi pada populasi babi. Penyebarannya terjadi melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi, konsumsi produk babi yang terkontaminasi, atau gigitan kutu yang membawa virus.
ASF berdampak besar terhadap industri peternakan babi dan ekonomi, terutama di negara-negara penghasil babi. Keberadaan ASF memerlukan langkah pencegahan yang ketat karena hingga saat ini belum ada vaksin atau obat untuk mengatasinya.
Kasus ini pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 2019 dan secara resmi dinyatakan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) yang melanda sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Virus ASF memiliki ketahanan yang luar biasa terhadap berbagai kondisi lingkungan. Sebagai contoh, virus ini dapat bertahan hingga 15 hari dalam urine, sehingga memungkinkan penyebarannya melalui cairan tubuh babi yang terinfeksi.
Ketahanan virus ASF semakin mengkhawatirkan ketika berada dalam produk olahan daging babi. Pada suhu ruang, virus ini mampu bertahan aktif antara 105 hingga 300 hari, sehingga berpotensi menyebar melalui makanan atau produk berbahan dasar babi yang tidak diolah dengan baik.
Apakah demam babi Afrika menular dan berbahaya?
Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI, Aji Muhawarman, menegaskan bahwa virus ASF tidak menimbulkan bahaya bagi manusia.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Provinsi Jakarta, Suharini Eliawati. Ia menegaskan bahwa demam babi Afrika adalah penyakit yang hanya menyerang hewan babi.
“ASF merupakan penyakit yang hanya berdampak pada babi, tidak menular ke manusia atau tidak bersifat zoonosis,” tutur Eliawati kepada awak media, dikutip dari Antara, Minggu (22/12/2024).
Hingga saat ini, tidak ada bukti bahwa virus tersebut dapat menular dari hewan ke manusia, sehingga wabah ini tidak memiliki dampak langsung terhadap kesehatan manusia.
Penanganan penyakit ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, yang bekerja sama dengan dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk mencegah meluasnya penyebaran virus ASF, masyarakat dihimbau untuk segera melaporkan kepada petugas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat dalam waktu 1×24 jam jika menemukan babi yang sakit atau mati. Selain itu, menghindari aktivitas jual beli babi yang sedang sakit juga menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko penularan penyakit ini.