PDI Perjuangan Ungkap Bobrok Pilkada 2024: Jumlah Pemilih Turun hingga Keresahan Pengerahan Aparat Penegak Hukum
JAKARTA – Ketua Tim Pemenangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 PDI Perjuangan Adian Napitupulu mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 kali ini.
Ia mengatakan, pilkada kali ini semakin memperlihatkan turunnya tingkat keadilan dan sportifitas dalam demokrasi dalam negeri.
“Pemilu kada ini semakin mempertontonkan bahwa dia kalah kualiatas sportifitas dan fairnessnya dibanding pertandingan sepak bola, dibandingkan pertandingan-pertandingan lari, lomba marathon, kalah sportif dan fair lah, sementara yang dipertaruhkan sangat besar,” kata Adian dalam konferensi pers di DPP PDI-P, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
“Seperti misalnya ketika kita bicara Pilkada Jakarta, maka pertaruhannya tidak cuma piala, tapi (anggaran) Rp 90 triliun, sekian banyak nasib orang dan lain sebagainya,” lanjutnya.
Adian mengungkapkan, salah satu fakta Pilkada Serentak yang disoroti adalah menurunnya jumlah pemilih di seluruh daerah di Indonesia. Ia mengatakan, banyak pemilih yang tidak dapat surat undangan memilih kali ini.
“Apa yang menarik dari penurunan partisipasi pemilih ini? Ada beberapa hal, salah satunya adalah sekian banyak pemilih yang dipetakan, tidak memilih sesuai kehendak mereka, maka tidak mendapatkan undangan, ini salah satu yang kita kaji dan ini yang mempengaruhi partisipasi pemilih,” kata Adian.
Selain itu, ia menyoroti masifnya bansos serta politik uang dalam Pilkada Serentak 2024. Di berbagai daerah, kata Adian, pemanggilan kepala desa kerap terjadi untuk membagikan bansos kepada rakyat sehingga bisa mengarahkan pilihan mereka ke calon yang diusung.
“Di banyak tempat ini, kita melihat polanya hampir sama. Pemanggilan kepala desa tidak terjadi di Jawa Tengah saja, di beberapa daerah terjadi. Kalau mereka tidak bisa membagikan bansos, yang dibagikan amplop,” ujar Adian.
Menurutnya, cara-cara seperti ini akan berdampak negatif terhadap demokrasi dan akan mempengaruhi pola masyarakat dalam memilih pemimpin di daerahnya. Apa lagi, dana-dana yang dikeluarkan tersebut diduga berasal dari APBN dan APBD.
“Semua ini kan biaya politik yang sangat besar, dampaknya apa? Kemungkinan besar mereka kedepannya akan mencari gantinya dari APBN dan APBD. Jadi, selamat kemudian rakyatnya menderita hidupnya,” kata Adian.
“Tahun 2025 akan banyak anggaran negara dan daerah yang tersedot akibat permainan politik seperti bansos, amplop dan sebagainya. Itu berbarengan dengan pajak naik 12 persen, mencicil hutang dengan bunga 800 triliun, semua akumulasi ini akan bermuara di tahun 2025 dan 2026,” lanjutnya.
Adian pun menambahkan, pengerahan aparat penegak hukum seperti polisi di berbagai daerah juga terlihat secara masif dalam Pilkada Serentak kali ini. Ia menilai, hal ini mengkhawatirkan sebab bisa menurunkan citra netralitas yang selama ini sudah dibangun.
“Ini harus menjadi kajian penyelenggara pemilu, aktivis, dan DPR agar mencermati keadaan seperti ini,” kata Adian.