JAKARTA – Kongres III Projo yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta pada 1-2 November 2025 menjadi panggung politik penuh makna dan isyarat halus. Organisasi relawan yang lahir dari gelora dukungan terhadap Joko Widodo sejak 2014 kini secara terbuka mengarahkan pandangannya ke Presiden Prabowo Subianto.
Absennya Jokowi secara fisik, resolusi kongres yang mayoritas menyoroti pemerintahan Prabowo-Gibran, serta rencana ganti logo organisasi semuanya menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini tanda akhir dari era dominasi Jokowi di panggung nasional atau hanya adaptasi cerdas di tengah pergantian kekuasaan?
Langkah Projo ini bukan sekadar manuver sementara, melainkan cerminan bagaimana kelompok relawan yang dulu menjadi pondasi kemenangan Jokowi dua periode kini berupaya bertahan hidup di fase baru.
Dengan ratusan relawan dari 35 Dewan Pimpinan Daerah dan 479 Dewan Pimpinan Cabang hadir, kongres bertema “Selalu Setia di Garis Rakyat” ini bukan hanya pertemuan internal, tapi juga pesan politik yang dibaca oleh seluruh kalangan.
Dukungan Projo kepada Prabowo disebut sebagai mandat rakyat, namun di baliknya ada nuansa bahwa Jokowi, meski masih dihormati, mulai kehilangan posisinya sebagai pusat tarik utama.
Kongres III Projo: Dari Harapan Jokowi Hadir hingga Resolusi Pro-Prabowo
Kongres III Projo seharusnya menjadi momen reuni megah bagi para relawan. Rencana awal menempatkan Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina untuk membuka acara, sementara Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diharapkan menutupnya.
Namun kenyataan berkata lain. Jokowi absen karena alasan kesehatan, di mana tim dokter menganjurkan istirahat dan menghindari aktivitas luar ruangan. Pidatonya disampaikan melalui video, di mana ia menyapa relawan dan mengajak mereka terus bekerja sama membangun Indonesia maju.
“Kami sudah berkomunikasi dengan Pak Jokowi lewat telepon, dan kami juga akan menyampaikan dalam waktu dekat hasil kongres ini kepadanya,” kata Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi usai acara.
Kehadiran Prabowo dan Gibran pun tak terwujud, meski panitia sempat menunggu konfirmasi dari Istana. Yang muncul justru Ketua Harian Gerindra sekaligus Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Meski begitu, kongres ini diikuti sekitar 3.000 peserta dengan semangat tinggi.
Hasilnya mencuat dalam lima resolusi utama, di mana empat di antaranya langsung menyasar dukungan kepada Prabowo. Resolusi pertama memperkuat pemerintahan Prabowo-Gibran. Kedua, menyukseskan agenda politik Prabowo di Pemilu 2029 tanpa menyebut Gibran secara eksplisit. Ketiga, transformasi organisasi Projo. Keempat, politik persatuan nasional. Kelima, bantu pemerintah wujudkan Indonesia Emas 2045.
Resolusi-resolusi itu langsung diserahkan sebagai laporan ke Jokowi dan Prabowo.
“Semua hasil kongres ini nanti akan kami serahkan sebagai bentuk forum tertinggi organisasi,” ujar Budi Arie.
Sorotan terbesar jatuh pada poin kedua, dukungan ke Prabowo di 2029 tanpa pasangan tetap, yang dianggap sebagai indikasi bahwa Projo tak lagi terikat pada dinasti Jokowi melalui Gibran. Banyak pengamat memandang ini sebagai pergeseran politik menjelang Pilpres 2029, di mana relawan era Jokowi mulai merancang arah baru.
Absennya Jokowi secara fisik ditambah resolusi yang minim menyebut namanya membuat kongres ini terasa seperti perpisahan simbolis. Lebih dalam, kongres ini menandai konsolidasi pasca-Pilpres 2024. Projo, yang dulu menjadi motor penggerak kemenangan Jokowi, kini menegaskan peran barunya sebagai pengawal pemerintahan.
“Kami ingin menegaskan bahwa Projo milik rakyat, bukan perorangan,” tegas Sekjen Projo Handoko.
Namun di balik klaim itu, kongres ini juga menunjukkan bagaimana organisasi relawan harus beradaptasi. Dukungan ke Prabowo bukan keputusan impulsif, melainkan hasil musyawarah rakyat di 30 kota sepanjang tahun.
“Sejak awal pencalonan Prabowo-Gibran, kami sudah solid. Itu sesuai arahan Pak Jokowi,” tambah Ketua DPP Projo Bonar.
Ganti Logo Projo Demi Tak Mengkultuskan Individu
Di tengah gejolak kongres, Budi Arie Setiadi menjadi figur sentral. Sebagai Ketua Umum yang kembali terpilih secara aklamasi untuk periode 2025-2030, ia tak hanya menyampaikan pidato politik, tapi juga mengumumkan transformasi krusial: perubahan logo Projo. Logo lama yang berbentuk siluet wajah Jokowi dilingkari lingkaran putih dengan nama Projo di bawahnya akan diganti.
“Logo Projo akan kita ubah, supaya tidak terkesan kultus individu,” tegas Budi Arie usai pembukaan kongres pada 1 November 2025.
Alasan perubahan itu sederhana: adaptasi dengan tantangan baru.
“Kita harus mentransformasikan Projo karena tugas mengawal pemerintahan Pak Jokowi dua periode sudah selesai. Kini, geopolitik dan tantangan global menuntut persatuan nasional,” katanya.
Logo baru nantinya akan dipilih melalui sayembara, tapi nama Projo tetap dipertahankan. Budi Arie bahkan menjelaskan etimologi nama itu: bukan singkatan Pro Jokowi, melainkan “negeri” dalam bahasa Sanskerta dan “rakyat” dalam Jawa Kawi.
“Jadi, kaum Projo adalah kaum yang mencintai negara dan rakyatnya,” ujarnya.
Pernyataan ini langsung memicu spekulasi luas. Budi Arie sudah menelepon Jokowi pagi itu untuk menjelaskan rencana.
“Tadi pagi saya masih komunikasi dengan Bapak Jokowi,” katanya.
Jokowi disebut sependapat, tapi perubahan ini tetap terasa sebagai langkah berani. Projo lahir karena Jokowi, tapi kini berusaha lepas dari bayangannya.
“Keberadaan Projo justru karena Jokowi. Jangan framing seolah kami putus hubungan,” tegas Budi Arie, menepis isu adu domba.
Ia juga menyuarakan agar relawan memperkuat partai politik Prabowo untuk dukung agenda nasional.
“Siap enggak? Karena mandat rakyat, kita ingin pemerintahan ini sukses,” serunya, disambut sorak “siap” dari ratusan relawan.
Transformasi ini juga mencakup kemungkinan Budi Arie masuk partai. Ia meminta izin relawan jika suatu saat bergabung.
“Prabowo sudah minta saya langsung masuk Gerindra,” ungkapnya, mengklaim itu permintaan resmi.
Langkah ini bagian dari upaya Projo menjadi kekuatan relawan yang lebih luas, tak terikat satu figur saja.
Dasco: Pintu Gerindra Terbuka, Tapi Tunggu Konfirmasi
Keinginan Budi Arie gabung Gerindra langsung mendapat respons dari Sufmi Dasco Ahmad. Hadir di kongres, Dasco mengaku belum mendengar langsung pernyataan itu.
“Saya belum dengar langsung, nanti kalau sudah dengar langsung saya tanggapi,” katanya saat ditemui wartawan pada 1 November 2025.
Ia enggan komentar lebih jauh sebelum konfirmasi pribadi dari Budi Arie. Tapi Dasco tak menutup pintu.
“Gerindra siap gelombang besar dari mana pun. Aspirasi itu wajar, kami pertimbangkan untuk diakomodasi,” tegasnya.
Hubungan Gerindra-Projo sudah lama terjalin, dan Dasco melihat ini sebagai peluang konsolidasi. Jika gelombang relawan Projo merapat, partai berlogo garuda itu siap menampung dengan pertimbangan matang.
Pernyataan ini sejalan dengan semangat kongres: perkuat partai Prabowo untuk agenda politiknya. Dasco juga menekankan politik persatuan.
“Jangan biarkan adu domba Jokowi-Prabowo,” katanya, seolah menjawab kekhawatiran Budi Arie.
Respons ini menunjukkan Gerindra tak hanya menerima individu, tapi juga potensi massa relawan Projo yang bisa menjadi aset elektoral di 2029.
Pergeseran Politik: Jokowi Masih Dihormati, Tapi Relevansinya Dipertanyakan
Langkah Projo ini tak lepas dari konteks lebih luas. Dukungan ke Prabowo disebut atas arahan Jokowi.
“Arahan beliau memang dukung Pak Prabowo,” kata Handoko.
Projo klaim keputusan itu hasil musra panjang, dan Jokowi tetap beri pesan lewat video: jaga persaudaraan dan kerjasama. Tapi absen fisik dan resolusi yang minim sebut Jokowi membuat banyak pihak bertanya.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan, ketidakhadiran Jokowi ini seperti menandakan era baru bagi Projo.
“Ya mungkin ini era yang baru buat Projo ya. Ada saatnya kita memulai, ada saatnya kita mengakhiri,” ujarnya.
Perubahan logo dan dukungan 2029 tanpa Gibran dianggap eksodus politik. Pengaruh Jokowi tak sekuat dulu; pragmatisme ambil alih. Meski begitu, Budi Arie tegas bantah keretakan.
“Jangan framing Projo jauh dari Jokowi. Kami tetap hormati beliau,” katanya.
Tapi dinamika ini menunjukkan bagaimana relawan adaptasi. Projo tak ingin jadi “bebek lumpuh” pasca-Jokowi. Dukungan ke Prabowo bagian dari visi keberlanjutan, bukan pengkhianatan.
“Kami pelopor dukung Prabowo-Gibran sejak Pilpres 2024,” tambah Budi Arie.
Di sisi lain, isu adu domba Jokowi-Prabowo terus mengemuka. Budi Arie sebut pihak tertentu ingin pecah hubungan itu.
Projo dorong politik persatuan, kawal program Prabowo agar manfaatnya terasa rakyat. Ini juga sinyal ke 2029: Projo posisikan diri sebagai kekuatan utama Prabowo, lepas dari bayang Jokowi.
Menuju 2029: Projo Siap Jadi Sayap Prabowo
Akhir kongres, Projo tutup dengan optimisme tinggi. Budi Arie pimpin tim formatur lima orang untuk susun kepengurusan baru. Laporan resolusi diserahkan ke Jokowi dan Prabowo, tandai transisi mulus. Tapi pertanyaan mendasar tetap: apakah Jokowi masih relevan? Projo jawab dengan aksi, bukan kata.
Dukungan ke Prabowo bukti loyalitas bergeser ke mandat rakyat, tapi akar Jokowi tak dilupakan. Menuju 2029, Projo siap jadi sayap kuat Prabowo. Transformasi logo dan organisasi jadi simbol kedewasaan.
Dinamika ini ingatkan: politik Indonesia tak pernah statis. Relawan seperti Projo harus bergerak maju, atau tenggelam dalam arus waktu.
Kongres III ini bukan akhir, melainkan babak baru di mana warisan Jokowi disalurkan melalui tangan Prabowo, sementara Projo terus setia di garis rakyat.