Nasional

Menkum Soroti Rendahnya Kesadaran Royalti Musik di Indonesia

  • October 8, 2025
  • 3 min read
Menkum Soroti Rendahnya Kesadaran Royalti Musik di Indonesia Ilustrasi royalti musik.

JAKARTA – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyoroti rendahnya kesadaran membayar royalti musik di Indonesia, meskipun industri musik nasional memiliki potensi ekonomi yang besar. Ia mengungkapkan, pangsa pasar industri musik Indonesia pada 2021 mencapai Rp 6 triliun, namun potensinya jauh lebih besar.

“Padahal potensinya masih jauh lebih besar. Nah karena itu kita menyadari sepenuhnya, saya tahu ini belum menjadi sebuah gerakan yang sangat masif, ini saya belum masuk ke royalti, ini baru saya bicara soal ekosistemnya, karena ini penting sekarang,” kata Supratman dalam acara Executive Breakfast Meeting ke-4 Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (IKA Fikom Unpad), Rabu (8/10/2025).

Menurut Supratman, musik kini bukan sekadar hiburan, melainkan industri besar yang seharusnya memberikan manfaat ekonomi lebih bagi pelaku kreatif.

“Dengan potensi industri musik kita ke depan, saya yakin dan percaya begitu transformasi soal royalti kita lakukan, maka pasti akan orang semakin berlomba-lomba untuk melakukan kreasi terhadap sebuah industri. Karena sekarang musik bukan sekadar hanya untuk kita nikmati, tapi dia sudah menjadi industri. Bahkan kita malah jauh ketinggalan, kita tidak mampu mengikuti, sebagai pencipta ini kita tidak mampu, yang pencipta atau komposer itu tidak mampu mengikuti perkembangannya,” ujarnya.

Perkembangan teknologi dan platform digital seperti Apple Music, Amazon Music, dan Spotify telah mengubah wajah industri musik global.

“Karena dunia industri-nya sudah berkembang luar biasa. Kita tahu platform-platform digital sudah luar biasa, ada Apple Music, Amazon Music, Spotify, dan yang lain sebagainya,” katanya.

Kasus Mie Gacoan Jadi Pembelajaran

Supratman mengungkapkan, sejak menjabat sebagai Menteri Hukum, ia langsung melihat adanya masalah besar dalam pengelolaan royalti di Indonesia.

“Karena itu teman-teman semua, begitu saya masuk menjadi Menteri Hukum, saya tahu ada problem besar terkait dengan pengelolaan royalti. Yang pertama problemnya adalah bagi masyarakat penikmat musik, dan dunia usaha yang memanfaatkan musik untuk menarik pelanggan, itu belum mendapatkan sosialisasi yang bagus. Atau mungkin sudah, tetapi kesadaran terhadap kewajiban membayar royalti itu yang memang tidak ada,” ujarnya.

Ia menyinggung kasus Mie Gacoan yang sempat ramai dibahas publik sebagai contoh rendahnya kesadaran membayar royalti.

“Kita ingat kejadian royalti tiba-tiba jadi bahasan yang luar biasa, karena kasus mie gacoan. Itu kan penyebab dan berhasil kami damaikan. Tetapi saya menikmati selama hampir kurang lebih sebulan, netizen merujak saya. Tapi saya tidak berhenti,” kata Supratman.

Menurutnya, kasus tersebut justru membuka ruang diskusi publik tentang pentingnya royalti musik.

“Saya menikmati itu supaya diskusi di ruang publik, itu bisa menimbulkan suatu saat harapan saya, menimbulkan kesadaran, dan hari ini ternyata membuahkan hasil. Minimal lewat IKA Fikom Unpad. Diskusi ini menjadi lebih menarik,” katanya.

Supratman menjelaskan, anggapan bahwa royalti memberatkan dunia usaha tidaklah benar, dengan mencontohkan hitungan dari kasus Mie Gacoan.

“Yang terakhir bersepakat untuk membayar royalti Rp 2,2 miliar yang mereka tidak pernah bayar selama 3 tahun berturut-turut. Dengan memiliki outlet yang kurang lebih yang terdaftar itu 65, yang kami tahu sebenarnya outlet mie gacoan itu lebih dari 130. Kalau kita bagi Rp 2,2 miliar dengan jumlah outlet dan kursi plus omzetnya, jika dibagi 30 hari, dibagi per hari, nilainya sangat kecil dan tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa itu mempengaruhi harga produk,” jelasnya.

Dengan 280 juta penduduk dan sekitar 123 juta pengguna Spotify, Indonesia memiliki pasar musik yang besar. Namun, royalti yang diterima musisi masih jauh dari layak.

“Karena hebatnya platform-platform digital sekalipun menyediakan platform yang gratisan tetapi mereka bisa memonetisasi iklan. Apalagi kalau kemudian kita bisa berlangganan. Mereka mendapatkan keuntungan dua kali sementara yang dibayarkan kepada musisi kita itu sangat kecil dibandingkan negara-negara yang lain,” pungkas Supratman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *