Internasional

Ketegangan Diplomatik Meningkat: Israel Dituding Langgar Hukum Maritim Setelah Menyergap Kapal Bantuan Gaza

  • October 6, 2025
  • 3 min read
Ketegangan Diplomatik Meningkat: Israel Dituding Langgar Hukum Maritim Setelah Menyergap Kapal Bantuan Gaza Para aktivisi di kapal SUmud Flotilla memakai jaket oranye, didekati kapal militer Israel. (Foto: Leo Correa/AP)

Tindakan militer Israel mencegat dan menahan kapal yang tergabung dalam misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla di perairan internasional memicu kecaman keras dan menimbulkan isu serius terkait pelanggaran hukum maritim global. Lebih dari 400 aktivis internasional yang berusaha menembus blokade laut Gaza dilaporkan telah ditangkap. Sebanyak 137 aktivis di antaranya, yang berasal dari 13 negara, telah dideportasi ke Istanbul, Turki, pada Sabtu (4/10/2025), setelah ditahan selama dua hari penuh.

Menurut kesaksian para aktivis yang dibebaskan, pencegatan terjadi jauh di luar batas wilayah Israel, dengan salah satu jurnalis Italia, Lorenzo D’Agostino, mengklaim bahwa mereka diculik di perairan internasional sekitar 88 kilometer dari pesisir Gaza. Aktivis Paolo Romano menceritakan bagaimana kapal-kapal mereka dikepung oleh armada militer dalam jumlah besar, bahkan beberapa di antaranya diserang dengan meriam air (water cannon) sebelum akhirnya dikuasai oleh pasukan bersenjata lengkap Israel.

Perlakuan tidak manusiawi saat penahanan menjadi fokus utama kesaksian para korban. Romano menguraikan bahwa para aktivis dipaksa untuk berlutut menghadap ke bawah dan dipukul jika berani bergerak. Kekerasan yang diterapkan tidak hanya fisik tetapi juga psikologis, di mana mereka menjadi sasaran ejekan dan penghinaan dari para tentara. Lebih lanjut, ia mengungkapkan adanya upaya paksa oleh otoritas Israel agar para aktivis mengakui telah memasuki wilayah Israel secara ilegal.

“Kami tidak pernah memasuki Israel secara ilegal. Kami berada di perairan internasional dan itu adalah hak kami untuk berada di sana,” tegas Romano, menolak klaim penahanan tersebut dan secara implisit menuduh Israel melakukan pembajakan dan penahanan ilegal di luar yurisdiksi mereka.

Penyangkalan hak dasar kemanusiaan juga menjadi bagian dari penderitaan aktivis. Iylia Balqis, seorang aktivis asal Malaysia, memberikan kesaksian bahwa setelah diborgol dengan tangan diletakkan di belakang, beberapa rekannya dipaksa berbaring tengkurap ke tanah. Mereka juga dikabarkan tidak diberikan akses air minum atau obat-obatan bagi yang memerlukan, sebuah perlakuan yang digambarkan D’Agostino sebagai situasi biadab selama masa penahanan di penjara.

Para aktivis percaya bahwa pembebasan mereka, meskipun melalui proses deportasi, merupakan hasil dari tekanan kolektif yang diberikan oleh masyarakat internasional yang terus menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Meskipun pengalaman tersebut mengerikan, hal ini tidak menyurutkan semangat mereka. Aktivis asal Libya, Malik Qutait, menegaskan niatnya untuk terus mencoba. “Saya akan mengumpulkan kelompok saya, mengumpulkan obat-obatan, bantuan dan kapal, dan saya akan mencoba lagi,” ujar Qutait, menggarisbawahi tekad misi kemanusiaan untuk mencapai Gaza.

Insiden ini kembali menyorot isu blokade Gaza dan standar perlakuan Israel terhadap aktivis yang membawa bantuan kemanusiaan. Tekanan diplomatik diperkirakan akan terus meningkat, menuntut pertanggungjawaban Israel atas dugaan pelanggaran hukum internasional di perairan lepas dan perlakuan kasar yang diterima oleh para warga sipil dari berbagai negara tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *