Rujak Hari Ini

Rujak Hari Ini: UU BUMN Baru Batasi Wamen, Komisaris Didominasi Politisi

  • October 3, 2025
  • 9 min read
Rujak Hari Ini: UU BUMN Baru Batasi Wamen, Komisaris Didominasi Politisi Ilustrasi BUMN. (Dok. Istimewa)

JAKARTA – Langkah DPR RI dan pemerintah untuk menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada rapat paripurna akhir pekan ini menandai babak baru dalam tata kelola perusahaan negara. Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah larangan bagi menteri dan wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas BUMN. Ketentuan ini langsung menjadi respons atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa rangkap jabatan semacam itu berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan independensi pengawasan.

Revisi ini tidak hanya mengubah struktur pengelolaan BUMN dengan mentransformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengelola BUMN (BP BUMN), tapi juga memberikan tenggang waktu maksimal dua tahun bagi para wakil menteri yang saat ini masih menjabat di posisi tersebut untuk menyesuaikan diri.

“Larangan rangkap jabatan untuk Menteri dan Wakil Menteri pada direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XXIII/2025,” tegas Wakil Ketua Komisi VI DPR Andre Rosiade dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I pada Jumat (26/9/2025) lalu.

Penyetujuan ini diharapkan mendorong profesionalisme BUMN, meski tetap meninggalkan celah bagi pejabat eselon I untuk tetap merangkap, yang justru memicu pertanyaan lebih lanjut soal dominasi politik di balik layar.

Dari Kontroversi hingga Revisi Mendesak

Semua bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan pada 28 Agustus 2025, yang secara tegas melarang rangkap jabatan bagi wakil menteri di organ BUMN. Putusan ini menguatkan interpretasi Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, di mana status wakil menteri setara dengan menteri dalam hal larangan rangkap jabatan. Sebelumnya, praktik ini kerap dibiarkan, meski berisiko menimbulkan konflik kepentingan, terutama ketika wakil menteri mengawasi BUMN yang berada di bawah yurisdiksi kementeriannya sendiri.

Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat. Pada 24 September 2025, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa revisi UU BUMN akan mengakomodasi putusan tersebut, termasuk membatasi masa jabatan rangkap maksimal dua tahun.

“Revisi UU BUMN ini memang ditujukan untuk memasukkan beberapa putusan MK, salah satunya terkait jabatan wakil menteri yang hanya boleh merangkap sebagai komisaris maksimal dua tahun,” ungkap Dasco di Kompleks Parlemen.

Rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM pada 26 September lalu pun mencapai kesepakatan, membuka jalan ke paripurna untuk pengesahan. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menambahkan bahwa ketentuan ini bertujuan menyempurnakan tata kelola, dengan orientasi lebih pada kontrak kinerja dan indikator objektif seperti dividen serta efisiensi holding.

Transformasi ke BP BUMN juga menjadi sorotan utama, di mana lembaga baru ini diharapkan lebih independen dari siklus politik.

“Jika berbentuk lembaga, orientasi BUMN lebih berbasis kontrak kinerja dan indikator objektif seperti dividen, efisiensi holding, serta kualitas pelayanan publik, bukan sekadar mengikuti siklus politik,” ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR Nurdin Halid optimis.

Namun, di balik kemajuan ini, kekhawatiran publik tetap ada: apakah revisi benar-benar membersihkan BUMN dari intervensi politik, atau justru hanya menggeser kursi dari satu tangan ke tangan lain?

32 Wakil Menteri “Harus” Mundur dari Kursi Komisaris

Revisi ini berdampak langsung pada puluhan pejabat tinggi di Kabinet Merah Putih. Saat ini, terdapat sekitar 32 wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengawas di berbagai BUMN, mencakup sektor strategis seperti telekomunikasi, energi, hingga keuangan.

Angka ini mencerminkan betapa dalamnya keterlibatan eksekutif dalam pengelolaan BUMN, yang selama ini dikritik karena berpotensi mengaburkan garis antara regulasi negara dan operasional bisnis.

Berikut daftar 32 wakil menteri yang merangkap jabatan di BUMN:

  1. Wakil Menteri P2MI/Wakil Kepala BP2MI Christina Aryani – Komisaris PT Semen Indonesia (Persero) Tbk
  2. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara – Komisaris PT PLN (Persero)
  3. Wakil Menteri BUMN Aminuddin Ma’ruf – Komisaris PT PLN (Persero)
  4. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo – Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
  5. Wakil Menteri UMKM Helvy Yuni Moraza – Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
  6. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti – Komisaris Utama PT Brantas Abipraya (Persero)
  7. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung – Komisaris PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
  8. Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan Didit Herdiawan Ashaf – Komisaris Utama PT Perikanan Indonesia (Persero)
  9. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono – Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia (Persero)
  10. Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha – Komisaris PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia Tbk
  11. Wakil Menteri Komdigi Angga Raka Prabowo – Komisaris Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk
  12. Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan – Komisaris PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk
  13. Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim – Komisaris PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk
  14. Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah – Komisaris PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk
  15. Wamenpora Taufik Hidayat – Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia
  16. Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno – Komisaris PT Pertamina International Shipping (PIS)
  17. Wamenkop Ferry Juliantono – Komisaris PT Pertamina Patra Niaga
  18. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Stella Christie – Komisaris PT Pertamina Hulu Energi (PHE)
  19. Wakil Menteri HAM Mugiyanto – Komisaris Utama PT InJourney Aviation Services
  20. Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto – Komisaris PT PLN (Persero)
  21. Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej – Komisaris PT Perusahaan Gas Negara Tbk
  22. Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono – Komisaris Utama PT Telekomunikasi Seluler
  23. Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria – Komisaris PT Telekomunikasi Seluler
  24. Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri – Komisaris Utama PT Sarinah
  25. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinator Penanaman Modal Todotua Pasaribu – Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero)
  26. Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Ratu Isyana Bagoes Oka – Komisaris PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk
  27. Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro – Komisaris Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk
  28. Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria – Komisaris Utama PT Indosat Tbk
  29. Wakil Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan – Komisaris di PT Citilink Indonesia
  30. Wakil Menteri Perhubungan Suntana – Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo
  31. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono – Komisaris PT Pertamina Bina Medika
  32. Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto – Komisaris Utama PT Dahana

Tenggang waktu dua tahun ini memberikan ruang transisi bagi para wakil menteri untuk mundur secara bertahap. Dengan jumlah sebanyak itu, mundurnya para wakil menteri berpotensi menciptakan kekosongan pengawasan sementara, meski pemerintah menjamin proses yang mulus melalui pembentukan BP BUMN sebagai pengawas independen.

Langkah ini dinilai krusial untuk mencegah konflik kepentingan, di mana peran wakil menteri sebagai regulator negara berpotensi terganggu oleh tanggung jawab eksekutif di BUMN, terutama jika sektornya saling beririsan.

Dominasi Politisi di Kursi Komisaris

Meski larangan bagi wakil menteri menjadi sorotan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kursi komisaris BUMN jauh lebih luas dikuasai oleh kalangan politisi, dan jumlahnya memang lebih masif daripada yang dibayangkan.

Penelitian terbaru Transparency International Indonesia (TII) yang dilakukan dari 13 Agustus hingga 25 September 2025 terhadap 59 BUMN dan 60 sub holding-nya mengungkap fakta mencolok: dari total 562 posisi komisaris, sebanyak 165 diisi oleh politisi, diikuti 172 berlatar belakang birokrat, 133 profesional, 35 militer, 29 aparat penegak hukum, 15 akademisi, 10 ormas, dan 1 mantan pejabat negara.

“Jadi, komisaris di holding BUMN, tata kelola BUMN dikuasai lebih banyak oleh birokrat dan politisi,” kata peneliti TII Asri Widayati dalam pemaparannya pada diskusi daring bertajuk “Komisaris Rasa Politisi: Perjamuan Kuasa di BUMN”, dikutip dari kanal YouTube Transparency International Indonesia, Kamis (2/10/2025).

Dari 165 politisi tersebut, terbagi menjadi 104 kader partai dan 61 relawan politik. Yang paling mencolok, Gerindra mendominasi dengan 48,6 persen atau sekitar 50 kursi, jauh melampaui partai lain seperti Demokrat (9,2 persen), Golkar (8,3 persen), serta PAN, PDI-P, dan PSI yang masing-masing 5,5 persen.

Di holding BUMN, politisi mencapai 31,3 persen dan birokrat 37,8 persen, sementara profesional hanya 14,9 persen; di sub holding, politisi 27,5 persen dan birokrat 24,4 persen, dengan profesional 32,1 persen. Asri menyoroti bahwa dominasi ini menandakan skema patronase sebagai imbalan dukungan politik, yang berisiko memicu korupsi melalui konflik kepentingan.

“Mungkin ini akan banyak korupsinya karena konflik kepentingan adalah jalan atau area risiko menuju tindak pidana korupsi,” tambah Asri, sekaligus menekankan bahwa birokrat sebagai regulator juga eksekutor justru memperburuk situasi.

Revisi UU BUMN kali ini tidak menyentuh larangan bagi eselon I atau politisi non-kabinet, yang berarti dominasi ini berpotensi bertahan.

“Sampai hari ini belum ada larangan untuk eselon I, karena wakil pemerintah tetap dibutuhkan untuk pengawasan,” jelas Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Jumat (26/9/2025).

Namun, pakar seperti Dr. Yance Arizona dari Universitas Gadjah Mada mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas aturan

“Potensi konflik kepentingan sangat tinggi,” tegasnya, mengingatkan bahwa tanpa reformasi menyeluruh, BUMN sulit lepas dari bayang-bayang politik praktis.

Menuju BUMN yang Lebih Profesional

Penyetujuan revisi UU BUMN ini membuka peluang besar bagi transformasi, di mana BP BUMN diharapkan menjadi pengawas independen yang fokus pada kinerja, bukan afiliasi politik.

Namun, tantangan tetap ada: korupsi di BUMN yang merugikan negara hingga Rp 83,3 triliun dari 16 kasus saja, sebagaimana tercatat baru-baru ini, menunjukkan urgensi transparansi.

Merespons temuan TII, pakar hukum tata negara Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas sepakat bahwa ini adalah skema patronase untuk membalas hutang jasa politik.

“Saya sepakat ini patronase untuk kemudian kurang lebih mengembalikan hutang jasa selama tahun politik, masing-masing pihak dapat keuntungan dan dapat pekerjaan,” katanya dalam diskusi yang sama.

Ia menyayangkan sikap Presiden Prabowo yang lebih fokus bagi-bagi jabatan daripada tata kelola profesional, meski latar belakang militer dan bisnisnya seharusnya memahami manajemen baik.

“Dan ini sepertinya, sayangnya Pak Prabowo, yang penting beri jabatan, bukan kemudian manajemen yang baik, orang yang tepat dan berujung pada tata kelola pemerintahan yang profesional,” tegas Feri.

Feri mendesak presiden turun tangan, mulai dari menyederhanakan kabinet yang kini jadi arena bagi-bagi kekuasaan, hingga patuh pada putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025, UU Kementerian Negara, UU Penyelenggaraan Negara Bersih dari KKN, dan putusan MK sebelumnya seperti 79, 80, 135.

“Jadi memang perlu dipertimbangkan putusan MK ini harus segera mungkin dijalankan dengan satu catatan bahwa Presiden punya niatan baik mematuhi putusan ini. Kalau tidak, ya Presiden memang sengaja mengabaikan putusan peradilan,” ujarnya.

Pengabaian ini, lanjutnya, termasuk tindakan sewenang-wenang yang dilarang Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan.

Akhirnya, revisi ini adalah langkah maju, tapi bukan akhir dari perjuangan. Dengan 32 wakil menteri yang harus mundur dan dominasi 165 politisi yang masih menggantung, pertanyaan mendasar tetap: kapan BUMN benar-benar dikelola oleh profesional, bebas dari tarikan politik? Pemerintah perlu komitmen lebih kuat, termasuk membuka ruang bagi talenta independen untuk mengisi kekosongan. Hanya dengan begitu, BUMN bisa menjadi kampiun nasional seperti yang diimpikan, bukan sekadar alat permainan kekuasaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *