Rujak Hari Ini: Istilah “Ibu Kota Politik”, Julukan Baru IKN yang Mengundang Tanya
JAKARTA – Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur terus menjadi sorotan sebagai wajah baru Indonesia. Kini, IKN mendapat julukan “Ibu Kota Politik”, sebuah istilah yang mencerminkan ambisi menjadikannya pusat pengambilan keputusan negara.
amun, di balik gemerlap wacana ini, muncul pertanyaan baru: apa maksud dari julukan tersebut, dan mengapa justru memicu diskusi di kalangan elite politik? IKN sendiri direncanakan mulai ditempati pada 2028, menandai babak baru pemerintahan Indonesia.
Target IKN 2028
Pada 30 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025. Dokumen ini menetapkan bahwa perencanaan, pembangunan, dan pemindahan fungsi pemerintahan ke IKN bertujuan mewujudkan Nusantara sebagai ibu kota politik pada 2028.
Pemindahan akan dilakukan bertahap, dengan 1700 hingga 4100 aparatur sipil negara dan personel hankam yang ditugaskan, didukung layanan kota cerdas hingga 25 persen. Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menegaskan bahwa IKN akan berfungsi penuh sebagai ibu kota politik saat infrastruktur tiga pilar negara rampung.
“Hal ini akan terwujud manakala seluruh infrastruktur pendukung tiga lembaga negara telah rampung dibangun dan mendukung operasional kerja masing-masing lembaga,” ujarnya pada 22 September 2025.
Presiden Prabowo disebut ingin Sidang Paripurna DPR/MPR digelar di IKN pada 16 Agustus 2028.
Makna “Ibu Kota Politik”
Istilah “ibu kota politik” merujuk pada kota sebagai jantung operasional pemerintahan, mencakup institusi kedaulatan seperti Istana Negara, gedung parlemen, dan mahkamah agung. IKN tidak dimaksudkan menggantikan Jakarta sebagai pusat ekonomi, melainkan menjadi kota hijau berkelanjutan.
Kawasan Inti Pusat Pemerintahan seluas 800 hingga 850 hektare akan dialokasikan 20 persen untuk perkantoran negara, dengan indeks aksesibilitas dan konektivitas ditargetkan 0,74.
Konsep ini mirip Canberra atau Washington D.C., yang lebih menonjol sebagai pusat administratif ketimbang komersial.
Ketua MPR Ahmad Muzani menjelaskan istilah ini sebagai pusat politik penyelenggaraan pemerintahan negara.
“Apa yang selama ini menjadi tanda tanya tentang bagaimana pemerintah pusat di bawah presiden Prabowo, sekarang sudah diputuskan bahwa 2028 Insya Allah Republik Indonesia pindah ibu kota ke Kota Nusantara,” katanya pada Januari 2025.
Ibu Kota Politik yang Mengundang Tanya
Julukan “ibu kota politik” memunculkan pertanyaan baru. Apakah istilah ini sama dengan “ibu kota negara” seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN? Pasal 39 ayat (1) UU tersebut menyatakan pemindahan ibu kota negara harus melalui Keputusan Presiden, bukan hanya perpres.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan pihaknya menunggu kajian mendalam.
“Kita tunggu kajiannya dulu, belum tahu dasar munculnya frasa itu,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin dari Fraksi PKB memperingatkan bahwa menyamakan istilah ini dengan ibu kota negara bisa menimbulkan konsekuensi hukum dan politik.
“Ketika Ibu Kota Politik dimaknai sama dengan Ibu Kota Negara, maka ada konsekuensi politik dan hukum,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima dari Fraksi PDI-P menambahkan bahwa DPR siap memanggil Kementerian Dalam Negeri untuk klarifikasi.
“Kita usahakan supaya Mendagri bisa menyampaikan dasar argumentasi dan tujuan penyebutan ibu kota politik itu,” katanya.
Pandangan Beragam: Dukungan dan Kekhawatiran
Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera dari Fraksi PKS menyambut positif, melihat perpres ini memungkinkan perencanaan matang bagi pemerintah dan investor.
“Kehadiran Perpres ini memungkinkan seluruh pihak, termasuk pemerintah dan investor, untuk merencanakan pengembangan IKN dengan lebih saksama,” ujarnya.
Namun, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad menilai istilah ini ambigu.
“Penyematan istilah Ibu Kota Politik pada IKN bisa ditafsirkan sebagai sinyal bahwa Kalimantan Timur tidak akan pernah sepenuhnya menjadi pusat pemerintahan, melainkan hanya simbolis,” katanya.
Ketidakjelasan ini memicu kekhawatiran bahwa IKN hanya akan menjadi pusat administratif simbolis, bukan pusat pemerintahan penuh seperti yang diharapkan.
IKN Jawab Tantangan?
Julukan “Ibu Kota Politik” menjadi metafora yang kaya makna, merefleksikan visi Indonesia menuju pusat pemerintahan yang adil dan berkelanjutan. Namun, pertanyaan seputar implikasi hukum dan kesiapan infrastruktur menunjukkan perjalanan menuju 2028 masih panjang.
Akankah istilah ini mempercepat langkah atau justru menjadi batu sandungan? Hanya waktu yang akan menjawab, dengan syarat pemerintah mampu menjawab diskusi ini dengan langkah konkret.
IKN bukan hanya tentang gedung dan infrastruktur, tetapi juga simbol demokrasi inklusif yang diharapkan menjadi kebanggaan bangsa.