Rujak Hari Ini: Gibran “Hilang” saat Reshuffle, Strategi Cerdas atau Prioritas Tugas?
JAKARTA – Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan publik setelah absen dalam dua acara reshuffle kabinet yang digelar Presiden Prabowo Subianto.
Ketidakhadirannya, terutama pada pelantikan 11 pejabat baru, termasuk Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan pada 17 September 2025, memunculkan pertanyaan: seberapa penting kehadiran Gibran dalam acara tersebut, dan apa dampaknya baik dari sisi politik maupun perannya sebagai wakil presiden?
Gibran ke Papua
Gibran tidak hadir dalam acara pelantikan di Istana Negara karena sedang menjalani kunjungan kerja di Kabupaten Jayapura, Papua, untuk meninjau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 2 Sentani. Kepala sekolah setempat, Kelasina Yanggroserai, menyebut kunjungan ini memberikan semangat baru bagi sekolah dalam menjalankan program tersebut. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi hanya memberikan penjelasan singkat, “Beliau sedang di luar kota,” tanpa merinci lebih lanjut.
Namun, absennya Gibran bukanlah hal baru dalam sejarah kepemimpinan wakil presiden Indonesia. Wakil Presiden ke-13 Ma’ruf Amin juga pernah beberapa kali absen dalam acara pelantikan menteri di era Presiden Joko Widodo, seperti pada 17 Juli 2023, 3 April 2023, 7 September 2022, dan 15 Juni 2022, karena sedang menjalankan tugas kunjungan kerja di berbagai daerah.
Preseden ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran wakil presiden dalam acara pelantikan tidak selalu mencerminkan masalah politik atau kurangnya koordinasi dengan presiden.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio, atau yang akrab disapa Hensa, menawarkan perspektif lain. Menurutnya, ketidakhadiran Gibran justru menjadi bagian dari strategi politik yang efektif untuk menjaga perhatian publik.
“Setiap ketidakhadiran Gibran dalam acara negara, tanpa disadari oleh Pak Prabowo, itu justru meningkatkan popularitas dia,” ujar Hensa dikutip dari keterangan resminya, Jumat (19/9/2025).
Ia menilai Gibran menunjukkan kedewasaan politik dengan tetap fokus pada agenda pribadinya, seperti bertemu masyarakat, tanpa terganggu oleh absennya dalam acara resmi.
Peran Wakil Presiden: Simbolis atau Substantif?
Secara konstitusional, peran wakil presiden di Indonesia lebih bersifat pendamping presiden, dengan tugas yang bergantung pada kepercayaan dan penugasan dari presiden. Dalam hal reshuffle kabinet, kehadiran wakil presiden bersifat simbolis dan tidak memiliki dampak langsung pada proses pengambilan keputusan.
“Jadi Wapres itu, kalau tidak diminta oleh Presiden, maka fine, oke. Nggak perlu hadir,” tegas Hensa.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa absennya Gibran tidak serta-merta menunjukkan adanya ketegangan dengan Presiden Prabowo, melainkan bisa jadi karena tidak adanya keharusan untuk hadir.
Namun, ketidakhadiran Gibran tetap memicu persepsi publik. Dalam konteks politik, kehadiran tokoh penting seperti wakil presiden dalam acara resmi sering dianggap sebagai simbol solidaritas dan kesatuan dalam pemerintahan.
Absennya Gibran dapat memunculkan spekulasi, baik tentang dinamika hubungannya dengan presiden maupun prioritas tugasnya sebagai wakil presiden.
Meski demikian, kunjungan kerja Gibran ke Papua menunjukkan fokusnya pada program strategis seperti MBG, yang merupakan salah satu janji kampanye utama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Viral dalam Diam
Hensa menyoroti fenomena menarik: semakin jarang Gibran muncul di acara resmi, semakin viral ia di kalangan masyarakat.
Contohnya, saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Istiqlal, Gibran tampil percaya diri mengenakan batik di tengah peserta lain yang mengenakan kemeja putih.
Pilihan ini, meski sederhana, menarik perhatian dan memperkuat citranya sebagai figur yang tidak terlalu mempedulikan kritik.
Lebih lanjut, Hensa menyebut pendekatan Gibran sebagai “gerakan politik senyap.” Dengan fokus pada agenda pribadi dan menjaga citra positif melalui interaksi langsung dengan masyarakat, Gibran mampu mempertahankan popularitasnya tanpa harus bergantung pada panggung resmi.
“Dalam diam, bergerak pelan-pelan,” ujar Hensa, menambahkan bahwa strategi ini berpotensi membawa Gibran ke posisi yang lebih kuat menjelang kompetisi politik 2029.
Ketidakhadiran Gibran juga memicu diskusi di media sosial dan pemberitaan, yang justru memperkuat eksistensinya. Hensa mencatat bahwa publik semakin menantikan kehadiran Gibran, bahkan ketika ia absen.
“Semua orang mulai bertanya-tanya, ‘Di mana Mas Gibran?’ Dengan itu, dia bisa hadir di mana saja,” katanya.
Antara Tugas dan Citra
Ketidakhadiran Gibran dalam dua acara reshuffle kabinet tidak serta-merta menunjukkan kurangnya peran atau ketegangan dengan Presiden Prabowo. Sebaliknya, absennya Gibran dapat dilihat sebagai bagian dari strategi politik yang cerdas, yang memanfaatkan ketidakhadiran untuk memperkuat viralitas dan citra publik.
Dengan fokus pada agenda seperti program MBG, Gibran menunjukkan prioritas pada tugas-tugas yang selaras dengan janji kampanye, sekaligus membangun hubungan langsung dengan masyarakat.
Namun, sebagai wakil presiden, Gibran dinilai perlu menyeimbangkan kehadiran simbolis dalam acara resmi dengan agenda lapangannya. Dalam politik, persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas. Jika Gibran mampu menjaga keseimbangan ini, “gerakan politik senyap” yang dijalankannya berpotensi mengantarkannya pada posisi yang lebih menonjol di masa depan. Seperti kata Hensa, “Diam-diam merayap, kemudian datang.” Publik pun terus menanti, “Di mana Mas Gibran?”