Rujak Hari Ini: TKD 2026 Turun Jadi Cuma Rp 650 Triliun, Apa Kabar Otonomi?
JAKARTA – Pemerintah pusat kembali menjadi sorotan akibat kebijakan pemangkasan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Anggaran TKD dipangkas tajam dari Rp864 triliun pada 2025 menjadi hanya Rp650 triliun, turun 25 persen atau setara Rp214 triliun.
Kebijakan ini memicu keresahan di kalangan pemerintah daerah dan menimbulkan perbedaan pandangan antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian.
Pemangkasan TKD dan Dampaknya di Daerah
Penurunan anggaran TKD sebesar Rp214 triliun pada 2026 menjadi penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Data historis menunjukkan bahwa pada 2016, TKD berada di angka Rp710 triliun, meningkat stabil hingga mencapai puncaknya pada 2023 sebesar Rp881 triliun. Namun, setelah stagnasi pada 2024 dan 2025 di angka Rp864 triliun, pemangkasan drastis pada 2026 menandakan perubahan arah kebijakan fiskal yang signifikan.
Pemangkasan ini memaksa sejumlah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) secara signifikan untuk menutupi kekurangan anggaran. Hal ini memicu protes dari berbagai pemerintah daerah yang merasa kehilangan ruang fiskal untuk mendanai program pembangunan lokal.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Glokar, Melchias Marcus Mekeng, menilai pemotongan ini berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah.
“Kalau anggaran dipotong, dampaknya pasti besar. Pertumbuhan ekonomi akan sulit tercapai,” ujarnya.
Ketimpangan alokasi anggaran antara pusat dan daerah juga semakin mencolok. Pada 2026, APBN total meningkat menjadi Rp3.787 triliun dari Rp3.528 triliun pada 2025, naik sekitar 7 persen. Namun, porsi untuk daerah justru merosot, dengan 83 persen anggaran dikuasai pusat dan hanya 17 persen dialokasikan untuk daerah.
Data ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap pusat yang semakin besar, dengan 98 persen kabupaten di Indonesia memiliki kapasitas fiskal lemah.
Respons Menkeu Purbaya: Janji Peningkatan TKD
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru dilantik beberapa hari yang lalu oleh Presiden Prabowo Subianto, merespons keresahan daerah dengan janji untuk meningkatkan kembali anggaran TKD.
Dalam acara Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional di Jakarta pada 11 September 2025, Purbaya mengakui bahwa pemotongan TKD telah mendorong daerah menaikkan PBB-P2 secara berlebihan.
“Karena anggarannya terlalu terpotong, mereka menaikkan PBB jadi enggak kira-kira. Kami menyadari hal itu,” ungkapnya.
Purbaya mengklaim telah berdiskusi dengan Komisi XI DPR, termasuk dengan Ketua Komisi XI Misbakhun, untuk memberikan pelonggaran anggaran TKD. Meski begitu, ia belum menyebutkan angka pasti kenaikan tersebut.
“Ya akan ditingkatkan. Sedang didiskusikan dengan Komisi XI,” ujarnya.
Langkah ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dengan pemerintah daerah dan memungkinkan pembangunan ekonomi lokal berjalan lebih lancar.
Mendagri Tito: Efisiensi adalah Kunci
Di sisi lain, Mendagri Tito Karnavian mengambil sudut pandang berbeda. Ia menekankan pentingnya efisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah. Menurut Tito, banyak daerah belum optimal dalam memanfaatkan dana TKD, sehingga manfaatnya belum dirasakan masyarakat secara luas.
“Efisiensi anggaran harus diarahkan pada program yang langsung menyentuh rakyat,” tegasnya pada 16 September 2025.
Tito mencontohkan keberhasilan Bupati Lahat Bursah Zarnubi yang memangkas anggaran perjalanan dinas dan rapat untuk dialihkan ke pembangunan bendungan irigasi seluas delapan ribu hektare. Langkah ini langsung meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Tito mendorong seluruh kepala daerah untuk mengadopsi pendekatan serupa, dengan fokus pada program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ia juga menekankan pentingnya memperluas jaring pengaman sosial agar dana TKD benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kontradiksi Kebijakan dan Tren Resentralisasi
Pemangkasan TKD ini memunculkan kritik tajam, terutama dari laporan masyarakat sipil yang disusun oleh Ramlan Nugraha dari PATTIRO.
Dalam analisis kritis terhadap satu tahun pemerintahan Prabowo, laporan tersebut menyoroti kontradiksi antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang menjanjikan penguatan keuangan daerah dengan praktik resentralisasi yang semakin kuat.
Penurunan TKD sebesar 25 persen pada 2026 menjadi bukti empiris adanya tren sentralisasi fiskal yang mengkhawatirkan.
Laporan PATTIRO juga mengungkapkan bahwa hanya 4,76 persen daerah di Indonesia memiliki kapasitas fiskal kuat, sementara 98 persen kabupaten berada dalam kondisi fiskal lemah.
Ketimpangan ini diperparah oleh dominasi pusat atas 83 persen anggaran nasional. Lebih lanjut, penghapusan data historis dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026 memicu pertanyaan soal transparansi kebijakan.
Kebijakan ini menunjukkan kurangnya kepercayaan pemerintah pusat terhadap kemampuan daerah dalam mengelola anggaran.
Meskipun desentralisasi menuntut pemberian ruang otonomi yang lebih luas, praktiknya justru sebaliknya. Regulasi dan kendali pusat yang semakin ketat membuat ruang gerak daerah semakin terbatas, mengancam semangat otonomi daerah yang telah menjadi fondasi pembangunan Indonesia selama dua dekade terakhir.
Menyikapi Ketegangan Pusat-Daerah
Perbedaan pendekatan antara Menkeu Purbaya dan Mendagri Tito mencerminkan tantangan dalam menyamakan persepsi antara pusat dan daerah. Purbaya berfokus pada pelonggaran anggaran untuk meredakan keresahan, sementara Tito menekankan efisiensi dan prioritas program.
Namun, tanpa kejelasan besaran kenaikan TKD dan langkah konkret untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah, kebijakan ini berisiko terus memicu ketegangan.
Pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan TKD agar tidak hanya berfokus pada angka, tetapi juga pada pemberdayaan daerah.
Penguatan kapasitas fiskal, transparansi alokasi anggaran, dan kepercayaan kepada pemerintah daerah harus menjadi prioritas agar otonomi daerah tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar terwujud dalam pembangunan yang inklusif dan merata.