Ekonomi

Pakar Kritik Transfer Dana Rp 200 Triliun ke Bank Himbara, Sebut Melanggar UU dan Konstitusi

  • September 16, 2025
  • 3 min read
Pakar Kritik Transfer Dana Rp 200 Triliun ke Bank Himbara, Sebut Melanggar UU dan Konstitusi Prof Didik J. Rachbini. Foto: Paramadina

JAKARTA – Rektor Universitas Paramadina, Didik Junaidi Rachbini, mengkritik kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengalihkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank milik Himpunan Bank Negara (Himbara).

Dana tersebut dialokasikan sebesar Rp55 triliun masing-masing untuk Bank Mandiri, BRI, dan BNI, serta Rp25 triliun untuk BTN dan Rp10 triliun untuk BSI.

Menurut Didik, langkah tersebut melanggar konstitusi dan beberapa undang-undang yang berlaku.

“Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar,” ujar Didik dalam siaran pers di Jakarta, Senin (15/9/2025).

Didik menjelaskan, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diatur oleh tiga landasan hukum, yaitu UUD 1945 Pasal 23, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN yang ditetapkan setiap tahun. Ketiga aturan ini menjadi pedoman resmi dalam proses penyusunan, penetapan, dan alokasi anggaran negara.

“Karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan,” ujar Didik.

Sebagai ekonom senior Indef, Didik menegaskan bahwa kebijakan anggaran harus mengikuti prosedur yang benar.

Jika tidak, hal ini dapat menjadi preseden buruk di mana anggaran publik digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat.

“Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah Presiden sekalipun. Pejabat-pejabat negara tersebut harus taat aturan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tidak ada tiba-tiba program datang nyelonong di tengah-tengah semaunya,” jelas Didik.

Ia menambahkan, setiap program yang menggunakan anggaran negara harus melalui proses legislasi bersama DPR. Proses ini mencakup pembahasan di komisi-komisi DPR, kementerian, dan Badan Anggaran, yang kemudian disahkan dalam sidang paripurna.

“Setiap program yang menjalankan anggaran negara tidak melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program nyelonong dengan memanfaatkan anggaran, maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara,” ucap Didik.

Lebih lanjut, Didik menyoroti bahwa pengeluaran dana Rp200 triliun tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 22 ayat 4, 8, dan 9. Ayat 4 menyebutkan bahwa Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum untuk keperluan operasional APBN.

Ayat 8 menyatakan bahwa rekening pengeluaran diisi dari Rekening Umum Kas Negara (RKUN) di bank sentral, sedangkan ayat 9 menegaskan bahwa jumlah dana di rekening pengeluaran harus sesuai dengan rencana pengeluaran yang telah ditetapkan dalam APBN.

“Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan,” jelas Didik.

Didik menegaskan bahwa penempatan dana di bank umum hanya diperbolehkan untuk keperluan operasional APBN, bukan untuk disalurkan ke industri melalui kredit umum di luar pembiayaan APBN.

“Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU Nomor 1/2004 tersebut,” ujar Didik.

Ia juga menyebut bahwa kebijakan spontan ini melanggar Pasal 22 ayat 4 UU Nomor 1/2004, karena rekening di bank umum hanya boleh digunakan untuk operasional APBN, bukan untuk program yang tidak ditetapkan dalam APBN.

Atas dasar analisis ini, Didik mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan menghentikan kebijakan tersebut.

“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktik jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya tiga undang-undang dan sekaligus konstitusi,” ujar Didik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *